Rabu 04 Oct 2023 17:57 WIB

Dalam Alquran Ada Kata tentang Perubahan, Apa Maknanya?    

Alquran mengabadikan tentang perubahan diri dan sosial.

Rep: Imas Damayanti / Red: Nashih Nashrullah
Alquran (ilustrasi). Alquran mengabadikan tentang perubahan diri dan sosial
Foto: ANTARA
Alquran (ilustrasi). Alquran mengabadikan tentang perubahan diri dan sosial

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perubahan pada hakikatnya dapat dilakukan sebuah bangsa yang digagas para individu-individu. Namun, bagaimana makna perubahan itu sendiri di dalam Alquran? 

Salah satu ayat yang menyinggung mengenai perubahan terdapat dalam surat Ar Rad penggalan ayat 11, Allah SWT berfirman:

Baca Juga

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ Yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”

Prof Quraish Shihab dalam kitab Tafsir al-Mishbah menjelaskan, paling tidak terdapat dua ayat Alquran yang sering diungkapkan dalam konteks perubahan sosial. Seperti dalam Surat al-Anfal ayat 53: 

ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَىٰ قَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ۙ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ 

Yang artinya, “Yang demikian itu (siksaan yang terjadi terhadap Firaun dan rezimnya) disebabkan karena Allah tidak akan mengubah nikmat yang telah dianugerahkannya kepada suatu kaum, sampai mereka sendiri mengubah apa yang terdapat dalam diri mereka,  dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” 

Kedua ayat tersebut, menurut Prof Quraish, berbicara mengenai perubahan. Tetapi ayat pertama berbicara tentang perubahan nikmat, sedangkan ayat kedua yang menggunakan kata “maa” berbicara tentang perubahan apapun. Baik dari nikmat atau sesuatu yang positif menuju ke murka Illahi, atau sesuatu yang negatif maupun sebaliknya dari negatif ke positif. 

Ayat tersebut berbicara mengenai perubahan sosial, bukan perubahan individu. Ini dapat dipahami dari penggunaan kata “Qaumun/masyarakat” pada kedua ayat tersebut. Selanjutnya, dari sana dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan sosial tidak dapat dilakukan oleh satu orang manusia saja. 

Memang, boleh saja perubahan bermula dari sesorang yang ketika dia melontarkan dan menyebarluaskan ide-idenya, diterima dan menggelinding dalam masyarakat. Di sini, dia bermula dari pribadi dan berakhir pada masyarakat. 

Pola pikir dan sikap perorangan tersebut menular kepada masyarakat luas, lalu sedikit demi sedikit “mewabah” kepada masyarakat luas. 

Kemudian, kata Prof Quraish, penggunaan kata “qaum” juga menunjukkan bahwa hukum kemasyarakatan ini tidak hanya berlaku bagi kaum Muslimin atau satu suku, ras, dan agama tertentu, tetapi ia berlaku untuk umum. 

Selanjutnya, Prof Quraish menjelaskan, karena ayat tersebut berbicara mengenai “qaum”, hal ini berarti sunnatullah yang dibicarakan berkaitan dengan kehidupan duniawi, bukan ukhrawi. 

Baca juga: Temuan Peneliti Amerika Serikat dan NASA Ini Buktikan Kebenaran Alquran tentang Kaum Ad

Adapun pertanggung jawaban pribadi baru akan terjadi di akhirat kelak sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Maryam ayat 95: 

 وَكُلُّهُمْ آتِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَرْدًا Yang artinya, “Setiap mereka akan datang menghadap kepada-Nya sendiri-sendiri.” 

Dua pelaku perubahan, siapa mereka? Kedua ayat tersebut berbicara mengenai dua pelaku perubahan. Pelaku pertama adalah Allah SWT yang mengubah nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada suatu masyarakat atau apa saja yang dialami suatu masyarakat, katakanlah, sisi luar/lahiriah masyarakat.

Perubahan yang terjadi akibat campur tangan Allah SWT menyangkut banyak hal. Seperti kekayaan dan kemiskinan, kesehatan dan penyakit, kemuliaan atau kehinaan, persatuan dan perpecahan, dan lain-lain yang berkaitan dengan masyarakat secara umum, bukan secara individu.  

Sedangkan pelaku kedua adalah manusia. Dalam hal ini adalah masyarakat yang melakukan perubahan pada sisi dalam mereka atau dalam istilah kedua ayat di atas dengan kalimat “maa bi anfusihim/apa yang terdapat dalam diri mereka”.   

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Terkait
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement