REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jumlah amfibi di seluruh dunia terus menurun, dengan dua dari setiap lima spesies terancam punah. Hal ini merujuk pada temuan sebuah studi yang dipublikasikan pada Rabu di jurnal ilmiah Nature.
Para peneliti mengevaluasi kesehatan lebih dari 8.000 spesies amfibi di seluruh dunia dan menentukan bahwa hampir 41 persen atau sekitar 2.871 spesies, terancam punah secara global. Jumlah spesies yang terancam telah meningkat hampir tiga persen sejak tahun 1980, karena perubahan iklim dan hilangnya habitat.
"Untuk bertahan hidup dalam menghadapi iklim yang berubah dengan cepat di Bumi, amfibi harus beradaptasi dengan perubahan ini atau pindah ke tempat. Dalam banyak kasus, perubahan terjadi terlalu cepat bagi mereka untuk beradaptasi, dan fragmentasi habitat menciptakan hambatan yang membuat mereka sulit untuk berpindah tempat,” kata salah satu penulis utama studi, Kelsey Neam, koordinator spesies dan metrik untuk organisasi non-pemerintah Re:wild.
Amfibi adalah hewan bertulang belakang seperti katak, kodok, dan salamander. Mereka dapat hidup di darat dan air, serta biasanya bernapas melalui kulit sehingg sering kali lembab saat disentuh.
Studi baru ini merupakan pandangan komprehensif tentang nasib mereka, menilai lebih dari 93 persen spesies amfibi yang diketahui. Penelitian ini menunjukkan bagaimana manusia membentuk kembali dunia dengan cepat dan bagaimana perubahan iklim, tumpang tindih dengan kekhawatiran lain termasuk konversi lahan dan penyebaran penyakit, yang membuat amfibi berada di ambang kepunahan.
Laporan ini mengandalkan data dari Global Amphibian Assessment yang telah diselesaikan tahun lalu. Lebih dari 1.000 ahli di bidangnya menyumbangkan penilaian terhadap ribuan spesies.
Adam Leache, seorang profesor biologi di University of Washington yang juga seorang kurator di Burke Museum of Natural History and Culture di Seattle, mengatakan bahwa penelitian ini merupakan pembaruan besar dalam konservasi amfibi di seluruh dunia.
Leache, yang bukan bagian dari kelompok peneliti, mengatakan bahwa analisis tersebut menyeluruh dan komprehensif dan dipimpin oleh beberapa peneliti utama amfibi di dunia. "Secara umum, saya pikir pola yang kita lihat secara global mencerminkan apa yang banyak dari kita pikirkan terjadi secara lokal juga," kata Leache seperti dilansir NBC, Kamis (5/10/2023).
Kelompok penelitian Leache telah melakukan survei di Afrika Barat yang beriklim subtropis, melacak spesies amfibi di lapangan. Terkadang, ketika ia kembali di tahun-tahun berikutnya, sudah tiada ada lagi spesies amfibi tersebut.
“Tidak ada cara untuk mensurvei keanekaragaman hayati; tidak ada apa-apa di sana,” jelas dia.
Neam menegaskan bahwa perubahan iklim merupakan masalah yang terus berkembang bagi amfibi. Terlebih amfibi sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, karena sebagian dari mereka bernapas melalui kulit.
"Dampak perubahan iklim, termasuk meningkatnya frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem, seperti badai dan banjir serta kekeringan, perubahan kelembapan, perubahan suhu, kenaikan permukaan air laut, kebakaran - semua hal tersebut dapat mengakibatkan hilangnya tempat berkembang biak yang penting bagi amfibi,” jelas Neam.
Amfibi juga harus menghadapi pandemi mereka sendiri akibat jamur Chytrid, yang telah menyebar dengan cepat ke seluruh dunia. Jamur itu menginfeksi kulit amfibi, mencegah mereka untuk rehidrasi dengan baik dan menyebabkan serangan jantung.
Amfibi memainkan peran penting dalam rantai makanan, dan mereka sering dimakan oleh burung, ikan, dan mamalia. Mereka juga merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang menopang kehidupan manusia. Beberapa di antaranya berperan penting dalam penelitian medis.