REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop) menunggu undangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) guna membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Ditargetkan, RUU itu mulai dibahas pada Oktober 2023.
Kemenkop sebelumnya telah berkoordinasi dengan pimpinan Komisi VI DPR RI agar segera membahas RUU tersebut bulan ini. Kementerian pun sudah memastikan Surat Presiden (Surpres) terkait penunjukkan wakil pemerintah untuk membahas RUU Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 19 September 2023 dan telah diterima DPR.
Dalam surat tersebut, Kementerian Koperasi dan UKM serta Kementerian Hukum dan HAM akan mewakili Pemerintah dalam membahas RUU itu. Disebutkan, langkah selanjutnya yaitu tahapan pembahasan bagi RUU Perkoperasian oleh DPR.
"Saat ini pemerintah menunggu undangan dari DPR untuk melaksanakan tahapan yang dimaksud," ujar Deputi Bidang Perkoperasian Kemenkop Ahmad Zabadi dalam keterangan resmi, Kamis (5/10/2023).
Pembahasan itu, kata dia mendesak dilakukan agar RUU perkoperasian dapat segera disahkan sebagai solusi ke depan atas kemungkinan terjadinya masalah menyangkut koperasi sebagaimana terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Zabadi mengatakan, Pemerintah menargetkan agar pembahasan dan pengesahan RUU dapat terlaksana akhir tahun 2023. Status undang-undang tersebut yakni perubahan ketiga terhadap UU Nomor 25 Tahun 1992.
“Ini perlu kami sampaikan kepada masyarakat, khususnya gerakan koperasi bahwa RUU Perkoperasian disiapkan awalnya untuk mengganti Undang-Undang lama dengan Undang-Undang yang baru,” tutur dia.
Menurutnya, tantangan zaman, dinamika lapangan, serta kebutuhan masyarakat perlu secepatnya dijawab dengan pembaruan regulasi, agar kemudian masyarakat pada umumnya dan gerakan koperasi pada khususnya memiliki daya dukung regulasi yang baik.
Maka, Zabadi mengatakan, setidaknya ada beberapa hal utama yang menjadi perhatian Pemerintah dalam perubahan UU ini. Misalnya, terkait peneguhan identitas koperasi dengan mengadaptasi jati diri koperasi dari International Cooperative Alliance (1995) yang dipadukan dengan karakter dan semangat ke-Indonesiaan, antara lain dalam bentuk asas kekeluargaan dan gotong royong.
Lalu, modernisasi kelembagaan koperasi dengan melakukan pembaruan pada ketentuan keanggotaan, perangkat organisasi, modal, serta usaha. “Tidak ketinggalan adopsi dan rekognisi pada model yang sudah berkembang di kalangan masyarakat seperti Koperasi Syariah, Koperasi Multi Pihak, Apex Koperasi, pola tanggung renteng, dan lain-lain,” jelas dia.
Kemudian ketentuan terkait peningkatan pelindungan kepada anggota dan/atau masyarakat. Hal ini dilakukan dengan mengusulkan pendirian dua pilar lembaga. Otoritas Pengawas Koperasi dan Lembaga Penjamin Simpanan Anggota Koperasi. Dengan pendirian dua lembaga tersebut, membuktikan negara hadir dalam melindungi kepentingan anggota, koperasi, dan masyarakat pada umumnya.
Di samping itu peningkatan kepastian hukum, dengan mengatur ketentuan sanksi administratif dan pidana. Tujuannya untuk memberikan kepastian hukum dan pelindungan bagi anggota, koperasi, dan masyarakat, yang diharapkan dapat mengurangi potensi penyalahgunaan badan hukum koperasi.
“Adanya sanksi pidana ini diharapkan dapat membuat jera orang atau pihak-pihak yang memanfaatkan koperasi untuk kepentingan dirinya semata, seperti praktik ternak uang atau rentenir,” kata Zabadi.
RUU Perkoperasian ini diharapkan dapat menjadi landasan hukum untuk mewujudkan asas kekeluargaan dan semangat gotong royong dalam membangun perekonomian nasional yang tumbuh stabil secara berkelanjutan dan berkeadilan.