REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Badan Perubahan Iklim Uni Eropa, Copernicus Climate Change Service melaporkan tahun ini berada di jalur menjadi tahun paling panas sejak 1940. Ilmuwan mengatakan perubahan iklim dan pola cuaca El Nino meningkatkan suhu permukaan air bagian timur dan tengah Samudera Pasifik.
Lembaga Copernicus menemukan berdasarkan catatan yang dimulai tahun 1940 menunjukkan suhu global pada Januari sampai September 2023 0,52 derajat Celsius lebih tinggi dari rata-rata sejak 1990-2020. Lembaga itu menambahkan suhu global 1,4 Celsius lebih tinggi dibandingkan periode pra-industri dari tahun 1850 sampai 1900.
Namun, peningkatan ini tidak berarti dunia hampir melewati ambang batas pemanasan jangka panjang sebesar 1,5 Celsius yang ditetapkan para pemimpin dunia dalam kesepakatan Paris 2015. Karena indikator ini diukur sebagai rata-rata multi dekade.
Sebelumnya lembaga Copernicus mengatakan tahun 2020 dan 2016 merupakan tahun terpanas yang pernah tercatat. Dengan suhu global sekitar 1,25 Celsius di atas suhu pada masa pra-industri.
"Yang paling mengkhawatirkan adalah peristiwa El Nino yang memanas masih terus berkembang, sehingga kita dapat memperkirakan suhu yang memecahkan rekor ini akan terus berlanjut selama berbulan-bulan, dengan dampak yang terus berlanjut terhadap lingkungan dan masyarakat kita," kata Sekretaris Jenderal Organisasi Meteorologi Dunia, Petteri Taalas, mengacu pada fenomena iklim yang mendorong panas ekstrem, Kamis (6/10/2023).
Analisis Copernicus didasarkan pada miliaran pengukuran dari satelit, kapal, pesawat, dan stasiun cuaca. Meskipun beberapa pengukuran suhu sudah ada sejak abad ke-19, Copernicus mengatakan mereka hanya menggunakan catatannya sendiri untuk basis data suhu globalnya.
Luas es laut Antartika tetap berada pada rekor terendah sepanjang tahun, sementara luas es Laut Arktik 18 persen di bawah rata-rata.