REPUBLIKA.CO.ID, HOMS -- Serangan drone ke Akademi Militer Homs, Suriah, pada Kamis (5/10/2023) kemarin merupakan serangan drone terhadap pasukan pemerintah di tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam perang sipil yang sudah berlangsung selama 12 tahun lebih.
Konflik di Suriah dimulai dengan unjuk rasa terhadap Presiden Bashar al-Assad pada tahun 2011. Kemudian berkembang menjadi konflik yang telah menewaskan ratusan ribu orang dan membuat jutaan orang mengungsi.
Pada bulan Juni, sebuah drone menyerang kampung halaman Assad, Qardaha, di provinsi Latakia. Namun serangan hari Kamis kemarin melibatkan sekelompok drone. Serangan ini merupakan serangan drone paling mematikan dan paling terkoordinasi yang dilakukan terhadap pemerintah.
Pada Jumat (6/10/2023) peneliti Wim Zwijnenburg mengatakan pemberontak garis keras menggunakan drone rakitan sejak awal 2018, termasuk terhadap pangkalan udara Hmeimim di pesisir pantai di mana Rusia memusatkan operasinya di Suriah.
Namun, kata Zwijnenburg, karena tidak ada sisa-sisa yang muncul dalam rekaman serangan itu, hanya sedikit yang bisa diperoleh tentang jenis drone atau muatannya.
Assad banyak mendapatkan dukungan militer dari Rusia, Iran, dan milisi yang didukung Teheran selama perang, setelah tentara Suriah diguncang oleh pembelotan di awal konflik. Rusia membantu dalam upaya memperkuat militer Suriah.
Presiden Rusia Vladimir Putin mengirimkan ucapan belasungkawa kepada Assad pada hari Jumat. Kantor berita pemerintah Suriah, SANA melaporkan Putin menggambarkan serangan tersebut sebagai "biadab".
Akademi Militer Homs merupakan salah satu akademi militer salah satu tertua di Suriah dan semua perwira di angkatan darat merupakan lulusan akademi tersebut. Lulusan baru dipandang sebagai pasokan penting bagi perwira junior, yang sangat kurang setelah lebih dari satu dekade perang brutal. n Lintar Satria/Reuters