REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Pemerintah sayap kanan Israel, yang dipimpin Perdana Menteri Benyamin Netanyahu menjadi kelompok yang paling rasis, fundamentalis, dan fanatik yang pernah ada. Pemerintahan ini telah dengan kejam meningkatkan pembersihan etnis, pengepungan, pembunuhan, penahanan, dan penghinaan setiap hari, terhadap jutaan penduduk asli Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat, wilayah Palestina yang diduduki Israel.
Gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) dalam pernyataan tertulisnya, Sabtu (7/10/2023) ikut mengutuk keras pemerintah-pemerintah kolonial Barat yang selalu berdiri bersama Israel. Menurut BDS National Committee (BNC), negara Barat lah yang mendorong sistem apartheid di Israel terus terjadi.
"(Negara Barat) menipu garis waktu seolah-olah semua kekerasan dimulai oleh kelompok Hamas atau warga Palestina di Gaza dengan menggunakan rudal menyerang wilayah Israel," kata BNC.
Upaya yang dilakukan Barat ini untuk memberi kesan bahwa tak ada kekerasan kolonial, atau penindasan pemukim Yahudi atas warga Palestina yang telah berlangsung selama puluhan tahun dan terus meningkat belakangan ini.
Israel percaya kebrutalan yang tak terselubung ini akan memaksa warga Palestina menyerah dan menerima penindasan sebagai takdir. "Semua itu didukung pendanaan dan persenjataan tanpa syarat dari Amerika Serikat dan Eropa, serta normalisasi yang memalukan dan aliansi militer dengan penguasa negara-negara Arab," tulis BNC.
Lebih lanjut BNC menuturkan, penindasan adalah akar dari kekerasan, maka perlu untuk mengakhiri semua kekerasan awal dan kekerasan yang sedang berlangsung. Maka untuk mengakhiri apartheid Israel yang telah berlangsung selama 75 tahun, gerakan boikot, divestasi dan sanksi perlu digaungkan menjadi bentuk solidaritas internasional.
"Hanya dengan demikian gerakan boikot, divestasi dan sanksi, upaya untuk membebaskan tersebut dapat mencapai kebebasan, keadilan, kesetaraan dan martabat."