REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Sejak Sabtu (7/10/2023) dini hari, Jalur Gaza mengalami pemadaman listrik total setelah pemerintah Israel memutus pasokan listrik ke wilayah miskin tersebut. Israel memutus pasokan listrik setelah kelompok perlawanan Hamas melancarkan serangan terkoordinasi dari Gaza ke Israel selatan, dan menembakkan ribuan roket ke kota-kota Israel.
Menteri Energi Israel, Israel Katz mengatakan, dia memerintahkan perusahaan listrik milik negara untuk menghentikan pasokan listrik ke Gaza, sehingga sebagian besar wilayah tersebut berada dalam kegelapan selama 24 jam terakhir. “Saya menandatangani perintah yang menginstruksikan perusahaan listrik untuk menghentikan pasokan listrik ke Jalur Gaza. Hal yang dulu tidak akan terjadi lagi,” kata Katz.
Staf rumah sakit dan personel medis di Gaza mengatakan, mereka mengandalkan generator cadangan untuk mempertahankan layanan penting. Karena fasilitas medis dibanjiri oleh warga Palestina yang mencari kabar tentang orang yang mereka cintai. Juru bicara Kementerian Kesehatan Gaza, Ashraf al-Qedra mengatakan, beberapa rumah sakit mengandalkan generator tua dan “bobrok” yang menyebabkan peningkatan konsumsi bahan bakar.
“Cadangan bahan bakar yang tersedia tidak cukup untuk menopang operasional rumah sakit dalam jangka waktu yang lama. Kami benar-benar khawatir generator listrik akan berhenti berfungsi sewaktu-waktu," kata al-Qedra kepada Middle East Eye, Ahad (8/10/2023).
Untuk memenuhi kebutuhan dua juta penduduk Jalur Gaza, satu-satunya pembangkit listrik di Gaza menyuplai pasokan listrik sekitar 500 megawatt (MW). Namun sebelum Israel menghentikan pasokan, pembangkit listrik hanya menyediakan 180 MW.
Biasanya, Gaza bergantung pada dua sumber listrik utama yaitu pembangkit listrik satu-satunya yang telah beroperasi dengan setengah kapasitasnya, yaitu hanya menghasilkan 60 MW listrik dari potensi 120 MW. Sumber kedua yaitu listrik yang dibeli dari Israel, dengan total 120 MW.
Menurut Perjanjian Oslo, yang ditandatangani Israel dengan Organisasi Pembebasan Palestina pada 1993, Israel bertanggung jawab untuk memasok listrik ke Gaza sebesar 120 MW. Pemadaman listrik menyebabkan pasien di rumah sakit Palestina terkena dampak paling parah.
“Jumlah pasien yang dirawat (di rumah sakit) meningkat, khususnya kasus jantung dan operasi,” ujar Hassan Abusultan, perawat di Rumah Sakit Eropa Gaza, yang terletak di Khan Younis.
“Sejak pagi hari, terjadi pemadaman listrik berkali-kali, sementara pasien kita bergantung pada mesin pernapasan buatan yang beroperasi menggunakan listrik. Seringnya pemadaman listrik tentu akan membahayakan nyawa pasien, termasuk bayi baru lahir, dalam risiko yang (tidak dapat dihindari)," ujar Abusultan.
Beberapa staf juga menyesalkan kurangnya tandu di rumah sakit. Beberapa staf menggunakan tempat tidur ruang gawat darurat untuk memindahkan pasien yang terluka ke departemen yang berbeda.
Sebelum gejolak terbaru ini, warga Palestina di Gaza biasanya menerima aliran listrik antara enam hingga delapan jam, yang diikuti dengan pemadaman listrik total selama delapan jam. Rumah-rumah dan tempat usaha sangat bergantung pada generator untuk mengatasi pemadaman listrik, sehingga memperburuk kesulitan keuangan di kalangan penduduk yang sebagian besar miskin.
Pemadaman listrik yang berkepanjangan juga mempengaruhi pasokan air. Karena pompa yang bertugas mengalirkan air ke bangunan tempat tinggal berhenti berfungsi.
“Kami bangun pagi ini, dan tidak ada air yang mengalir dari keran karena pemadaman listrik selama 20 jam. Kami mencoba menyalakan generator dan sumber listrik cadangan lainnya selama beberapa jam, namun itu tidak cukup untuk menyediakan air bagi kebutuhan kami dan keluarga besar,” ujar Nermin Bassel, seorang warga Gaza.
“Agar air dapat dipompa ke seluruh apartemen di gedung tiga lantai kami, kami memerlukan pasokan listrik yang konsisten setidaknya selama lima hingga delapan jam,” kata Bassel.
Bassel menambahkan, dia khawatir pemadaman listrik akan menghambat kerja sistem layanan kesehatan yang sudah hancur. “Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan jika salah satu anak saya jatuh sakit dalam situasi seperti ini ketika rumah sakit sudah berjuang untuk menangani korban luka, atau jika ada di antara kami yang benar-benar terluka. Ini akan menjadi mimpi buruk," ujar ibu tiga anak tersebut.
Menurut data Kementerian Kesehatan, 44 persen obat-obatan penting dan 32 persen peralatan medis sekali pakai di rumah sakit di Gaza stoknya telah habis. Hal ini memperburuk krisis dalam sistem layanan kesehatan.
Jet tempur Israel pada Sabtu (7/10/2023) menargetkan Rumah Sakit Indonesia di utara Gaza, hingga menimbulkan kerusakan. Satu anggota staf medis wafat akibat serangan itu. Setidaknya lima ambulans telah rusak akibat serangan udara.