REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Eks Dirut PT Pertamina (Persero), Karen Agustiawan mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Permohonan ini terkait penetapan status dirinya sebagai tersangka dalam kasus rasuah pengadaan gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) di PT Pertamina (Persero) 2011-2021.
Berdasarkan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jaksel, gugatan itu diajukan pada Jumat (6/10/2023). "Klasifikasi perkara sah atau tidaknya penetapan tersangka," demikian dikutip dari SIPP PN Jaksel, Senin (9/10/2023).
Gugatan tersebut terdaftar dengan nomor perkara 113/Pid.Pra/2023/PN JKT.SEL. Pihak yang digugat adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam SIPP itu, belum ada petitum permohonan yang ditampilkan. Rencananya, sidang pertama praperadilan ini digelar pada 16 Oktober 2023.
Sebelumnya, KPK resmi menahan Karen Agustiawan. Dia ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan rasuah pengadaan gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) di PT Pertamina (Persero) 2011-2021.
Kasus ini bermula ketika PT Pertamina berencana mengadakan LNG sebagai alternatif mengatasi terjadinya defisit gas di Indonesia sekitar tahun 2012. Sebab, perkiraan defisit gas akan terjadi di Indonesia kurum waktu 2009-2040.
"Sehingga diperlukan pengadaan LNG untuk memenuhi kebutuhan PT PLN Persero, Industri Pupuk dan Industri Petrokimia lainnya di Indonesia," ungkap Firli konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (19/9/2023).
Karen yang diangkat sebagai Direktur Utama PT Pertamina Persero periode 2009-2014 kemudian mengeluarkan kebijakan untuk menjalin kerja sama dengan beberapa produsen dan supplier LNG yang ada di luar negeri. Diantaranya perusahaan Corpus Christi Liquefaction (CCL) LLC Amerika Serikat.
Saat pengambilan kebijakan dan keputusan tersebut, Karen diduga secara sepihak langsung memutuskan untuk melakukan kontrak perjanjian perusahaan CCL tanpa melakukan kajian hingga analisis menyeluruh dan tidak melaporkan pada Dewan Komisaris PT Pertamina Persero.
"Selain itu pelaporan untuk menjadi bahasan dilingkup Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam hal ini Pemerintah tidak dilakukan sama sekali sehingga tindakan GKK alias KA tidak mendapatkan restu dan persetujuan dari pemerintah saat itu," jelas Firli.
Dalam prosesnya, seluruh kargo LNG milik PT Pertamina Persero yang dibeli dari perusahaan CCL LLC Amerika Serikat menjadi tidak terserap di pasar domestik. Akibatnya, kargo LNG menjadi oversupply dan tidak pernah masuk ke wilayah Indonesia.
“Dari perbuatan GKK alias KA menimbulkan dan mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar 140 juta dolar Amerika Serikat yang ekuivalen dengan Rp2,1 triliun,” ungkap Firli.