REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Israel telah mengumumkan blokade total terhadap Jalur Gaza, dua hari setelah pejuang Hamas melakukan serangan mengejutkan di wilayah Israel. Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant mengatakan, Israel menutup akses listrik, makanan, air, dan gas.
“Kami melakukan pengepungan total terhadap Gaza. Tidak ada listrik, tidak ada makanan, tidak ada air, tidak ada gas, semuanya tertutup,” kata Gallant dalam sebuah pernyataan video pada Senin (9/10/2023).
Lebih dari 500 warga Palestina meninggal dunia dan hampir 3.000 orang terluka dalam serangan Israel yang menargetkan bangunan tempat tinggal dan perkantoran.
Keputusan untuk memutus pasokan listrik, air, dan bahan bakar ke Gaza, yang telah dikepung Israel selama 16 tahun, telah dikutuk oleh PBB sebagai hukuman kolektif. Kekhawatiran invasi darat ke Gaza semakin meningkat setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan negaranya sedang berperang.
Dilaporkan Aljazirah, lebih dari 100.000 warga Palestina di Gaza telah mengungsi dan ribuan lainnya berlindung di sekolah-sekolah PBB ketika serangan Israel meningkat. Serangan brutal Israel memaksa warga Palestina meninggalkan rumah mereka.
Sejumlah gedung, masjid, dan perkantoran telah menjadi sasaran ketika Netanyahu menjanjikan balas dendam yang besar atas serangan-serangan mematikan Hamas yang menimbulkan gelombang kejutan di seluruh Israel dan dunia. Gambaran mengerikan dari dalam Gaza muncul ketika 19 anggota keluarga meninggal dunia akibat serangan udara Israel pada Ahad (8/10/2023). Serangan itu menghantam bangunan tempat tinggal mereka.
Lebih dari 60 persen penduduk Gaza adalah pengungsi yang secara etnis telah diusir oleh Israel tanah air mereka sendiri. Israel telah mempertahankan blokade darat, laut dan udara di Gaza sejak 2007, tepatnya setahun setelah Hamas terpilih secara demokratis untuk berkuasa. Pemungutan suara tersebut dilakukan hampir dua tahun setelah pasukan dan pemukim Israel menarik diri dari daerah kantong tersebut.
Blokade tersebut memberikan kendali kepada Israel atas perbatasan Gaza, dan Mesir telah turun tangan untuk menegakkan perbatasan barat. Israel memblokir perbatasan untuk melindungi warganya dari Hamas. Namun, tindakan hukuman kolektif tersebut melanggar Konvensi Jenewa dan telah lama dianggap ilegal oleh sejumlah kelompok termasuk Komite Palang Merah Internasional.
“Hukuman kolektif jelas dilarang berdasarkan hukum humaniter internasional melalui Pasal 33 Konvensi Jenewa Keempat. Tidak ada pengecualian yang diizinkan,” ujar Michael Lynk, pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di wilayah Palestina dalam laporan pada 2020.
“Kebijakan hukuman kolektif Israel di Gaza telah menciptakan ekonomi yang benar-benar runtuh, infrastruktur yang hancur, dan sistem layanan sosial yang hampir tidak berfungsi," ujar laporan Lynk.
Meskipun pembenaran Israel untuk memberlakukan penutupan di Gaza adalah untuk membendung Hamas dan menjamin keamanan Israel, dampak sebenarnya dari penutupan tersebut adalah kehancuran perekonomian Gaza. Blokade menyebabkan penderitaan yang tak terukur bagi dua juta penduduk Gaza.
Israel telah dituduh menggunakan hukuman kolektif sebelumnya dan menciptakan krisis kemanusiaan di Gaza. Ini adalah strategi yang sering digunakan oleh Israel ketika berhadapan dengan warga Palestina.
“Hanya orang yang bersalah yang dapat dihukum atas tindakannya, dan hanya setelah melalui proses yang adil. Orang yang tidak bersalah tidak akan pernah bisa dihukum atas perbuatan orang lain," kata Lynk.
Selain kontrol perbatasan, Israel telah menghancurkan rumah-rumah, memberlakukan jam malam, membuat penghalang jalan, menyita properti pribadi, menghancurkan lahan pertanian dan sistem air warga Palestina. Dampak dari blokade selama 16 tahun telah menciptakan tingkat pengangguran lebih dari 45 persen, dan menjadi salah satu yang tertinggi di dunia.
Menurut PBB, warga Gaza hanya mendapatkan 13 jam listrik per hari pada 2023. Warga Palestina di Gaza juga memiliki akses yang buruk terhadap air bersih dan tidak ada bandara yang berfungsi.