REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu dan pemimpin oposisi berhaluan tengah, Benny Gantz sepakat untuk membentuk kabinet perang. Kabinet ini terdiri dari Netanyahu, Gantz dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant.
Gantz dan Netanyahu bertemu secara pribadi selama sekitar 30 menit di markas militer Kirya di Tel Aviv, Rabu (11/10/2023). Dengan bersatunya dua kubu politik yang bersebrangan di Israel ini, Netanyahu bersiap menghadapi perang skala besar.
Pernyataan bersama dari Partai Persatuan Nasional pimpinan Gantz pada Rabu mengatakan, pemerintah persatuan tidak akan mendukung kebijakan atau undang-undang apa pun yang tidak terkait dengan pertempuran melawan Hamas yang sedang berlangsung di Gaza.
Surat kabar Israel, Haaretz melaporkan, mantan kepala staf IDF Gadi Eizenkot dan Menteri Urusan Strategis Ron Dermer akan bertindak sebagai observer dalam kabinet perang.
Pengumuman ini muncul ketika Israel meningkatkan serangan terhadap Gaza. Israel membombardir Gaza sebagai tanggapan atas serangan mengejutkan Hamas dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya di Israel selatan pada Sabtu (7/10/2023).
Para pejabat Israel memberikan tanggapan yang keras dengan memutus akses terhadap air, bahan bakar, dan listrik bagi 2,3 juta warga Palestina yang tinggal di Jalur Gaza. Kelompok hak asasi manusia mengatakan, merampas kebutuhan dasar penduduk di wilayah pendudukan adalah kejahatan perang. Serangan udara Israel yang menargetkan Gaza telah menyebabkan sedikitnya 1.055 orang meninggal dunia dan melukai 5.184 orang lainnya.
Selama beberapa bulan terakhir, Israel terperosok dalam gejolak politik dalam negeri sehubungan dengan upaya pemerintahan Netanyahu untuk mendorong usulan reformasi pada sistem peradilan di negara tersebut. Para kritikus menggambarkan perombakan peradilan ini sebagai upaya untuk menegaskan kendali atas lembaga peradilan melalui kudeta yudisial.
Netanyahu dan sekutunya menuduh gerakan protes besar-besaran yang turun ke jalan selama beberapa bulan terakhir. Netanyahu menyebut aksi protes ini membahayakan kohesi nasional.