Kamis 12 Oct 2023 10:59 WIB

Anak-Anak Gaza Pakai Cara Berbahaya untuk Bertahan Hidup di Tengah Gempuran Israel

Israel juga memblokade wilayah Gaza.

Anak-anak berkumpul di samping kawah bangunan rumah yang dihancurkan oleh serangan udara Israel di Jalur Gaza.
Foto: AP / John Minchillo
Anak-anak berkumpul di samping kawah bangunan rumah yang dihancurkan oleh serangan udara Israel di Jalur Gaza.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Pesawat-pesawat tempur Israel masih berseliweran melakukan serangan udara dan memblokade total akses ke Jalur Gaza. Blokade ini menyebabkan penduduk Gaza, termasuk anak-anak telah kehilangan akses ke banyak kebutuhan, termasuk makanan, air, dan pendidikan.

Serangan udara Israel telah mengakibatkan kematian ratusan anak-anak di Gaza, dan blokade total menimbulkan risiko lebih memprihatinkan. Sebagai tanggapan atas serangan Hamas terhadap Israel, lingkungan Gaza, termasuk al-Karama dan Rimal, telah dibombardir dan jumlah korban sipil yang tewas, termasuk ratusan anak-anak, terus meningkat.

Baca Juga

Pada hari Rabu (11/10/2023), jumlah korban tewas di Gaza mencapai sedikitnya 950 warga Palestina, termasuk 260 anak-anak. Pusat Informasi Kesehatan Palestina melaporkan bahwa 10 persen dari 3.726 orang yang terluka adalah anak-anak.

Menurut Defense for Children International (DCI), sebuah organisasi hak asasi manusia Palestina yang berfokus pada hak-hak anak, sejak tahun 2005. Disebutkan bahwa enam serangan militer besar di Gaza telah menewaskan sedikitnya 1.000 anak Palestina.

"Kami tahu dari pengalaman sebelumnya bahwa anak-anak akan ketakutan," kata Jason Lee, direktur Save the Children untuk wilayah Palestina yang diduduki, dalam sebuah pernyataan pada hari Sabtu lalu.

Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant mengumumkan blokade penuh atas Gaza pada hari Senin (8/10/2023). Ia membenarkan langkah tersebut dengan menggambarkan warga Palestina sebagai "orang-orang yang buas".

Dengan blokade ini, berarti pasokan listrik, gas, makanan dan air telah terputus di Gaza. Padahal wilayah Gaza sejak lama, telah hidup di bawah blokade darat, laut dan udara sejak tahun 2007 dan perbatasannya dikontrol oleh Israel.

Sejak blokade ini, Israel telah melancarkan lima serangan militer ke Gaza, menghancurkan rumah-rumah warga. Karena blokade dan kurangnya akses ke material, rekonstruksi rumah-rumah tersebut berjalan lambat dan sulit, membuat para penghuninya mengungsi.

Anak-anak sangat rentan terhadap kondisi ini - kurangnya akses terhadap air bersih, sumber daya sanitasi, dan perlindungan dari cuaca ekstrem - yang menyebabkan ketegangan pada kesehatan fisik dan mental mereka.

Kurangnya makanan di tengah blokade total juga akan menyebabkan tingkat kerawanan pangan yang lebih tinggi. DCI melaporkan bahwa anak-anak di Gaza sebelumnya telah menggunakan metode berbahaya untuk mengumpulkan makanan atau uang untuk membeli makanan, memasuki zona-zona di mana mereka dapat diserang oleh militer Israel.

Kurangnya fasilitas air dan sanitasi di Gaza sebelumnya telah menyebabkan anak-anak menderita penyakit termasuk flu dan demam tifoid, menurut DCI. Defisit listrik yang sering terjadi telah memperburuk masalah anak-anak yang rentan terhadap panas dan dingin yang ekstrem, kata DCI dalam laporannya.

 

Menurut laporan tahun 2022 dari Save the Children, empat dari lima anak di Gaza hidup dengan depresi, kesedihan, dan ketakutan, sementara lebih dari separuhnya bergumul dengan pikiran untuk bunuh diri. Anak-anak di sana juga mengalami trauma karena menyaksikan kematian anak-anak lain.

Sejak awal serangan udara Israel, lebih dari 73.000 warga Palestina meninggalkan rumah mereka. Para pengungsi ini mencari perlindungan di 64 sekolah yang dikelola oleh UNRWA, badan PBB untuk pengungsi Palestina.

Namun, sekolah tidak lagi menjadi tempat yang aman dan menurut UNRWA, setidaknya empat sekolah di Gaza mengalami kerusakan akibat pemboman Israel. Pada hari Selasa, sekolah Al Fakhoora milik Yayasan Education Above All (EAA) hancur akibat serangan udara. 

Dalam sebuah pernyataan, EAA mengatakan bahwa "hukuman kolektif, pembalasan, dan serangan terhadap warga sipil dan infrastruktur sipil merupakan pelanggaran serius terhadap hukum kemanusiaan internasional, dan jika disengaja, hal tersebut merupakan kejahatan perang."

 

Para siswa di Gaza juga mengalami ketakutan yang terus menerus akan serangan Israel. Kementerian Pendidikan telah membuat program pelatihan bagi para guru dan siswa di sekolah-sekolah dekat perbatasan Gaza untuk melakukan latihan evakuasi jika terjadi serangan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement