REPUBLIKA.CO.ID -- Tak mudah bagi Komarudin menghadapi musim kemarau hari ini. Sebagai petani penggarap, ia harus mengejar panen untuk memenuhi kebutuhan sehari hari. Hanya saja, sulitnya akses air membuat pria 56 tahun ini merogoh kocek lebih dalam untuk membeli BBM untuk menghidupkan pompa air, kebutuhan pupuk, hingga obat hama.
Menggarap lahan sawah hampir 50 hektare, ia bersama 12 petani penggarap lainnya harus patungan untuk membeli solar dan bensin untuk menyalakan pompa air dan alat pertanian lainnya. "Air lagi susah. Dapet nyedot ini buat sawah (harus mengoperasikan pompa untuk air untuk mengalirkan air)," ujar Komarudin kepada Republika.co.id sembari menanam benih di salah satu sawah di Karawang, Jawa Barat, pekan ini.
Komarudin memerlukan bensin dalam satu hari sebesar 10 liter untuk menyalakan pompa. Sedangkan bahan bakar yang digunakan adalah Pertalite yang didapat oleh dirinya sebesar Rp 12.000 per liter.
"Bensin beli sendiri, sehari semalam satu dantang (10 liter)," kata dia.
Artinya, Komarudin perlu merogoh kocek Rp 120.000 per hari hanya untuk membayar pompa air agar sawahnya terus teraliri air. Padahal, kata pria asli Karawang ini harus melakukan teknik ini selama tiga bulan berturut turut karena tak kunjung turun hujan.
"Kalau enggak ada hujan, airnya kurang, ya harus nyedot atuh," ujar Komarudin.
Artinya, untuk satu hektare tanah yang ia kelola bersama petani lainnya memerlukan uang hampir Rp 10 juta lebih selama tiga bulan masa kekeringan. Padahal dia bersama 12 petani lainnya menggarap hampir 50 hektar sawah.
Pil pahit ini harus ditelan oleh Komarudin dan teman temannya sebab mereka tak punya akses membeli solar subsidi. Sebab, solar subsidi baru bisa didapat jika menggunakan kendaraan.
"Kalau mau solar murah kan enggak boleh pakai jeriken, harus pakai mobil. Kita kan enggak punya mobil. Gimana atuh, padahal kita sudah punya Kartu Tani, tapi tetep enggak boleh beli yang subsidi," ujar Sami'in, rekan Komarudin.
Sami'in pun heran, mengapa hingga Oktober, hujan tak kunjung turun. Sembari tertawa pahit, Sami'in hanya menerima keadaan. Hal ini memaksa para petani penggarap akhirnya banyak yang menganggur.
"Saya bantuin saja, daripada enggak kerja. Biasanya di sawah sebelah, tapi sawah kampung sebelah belum mulai tanam karena belum hujan," kata dia.
Musim kering tak hanya membutuhkan modal yang besar, upaya maksimal yang dilakukan petani juga tak banyak membuahkan hasil yang menggembirakan. Biasanya, jika musim panen para petani bisa memproduksi 6 ton per hektare.
"Sekarang cuma 2,5 ton sekali panen," kata Sami'in.
Tak hanya kesulitan dalam akses air, Sami'in juga harus berkutat dengan hama. Kekeringan membuat banyak hewan seperti tikus dan burung yang menyerang sawah mereka.
"Ini harusnya bulan depan panen, tapi ini agak terlambat sedikit ini," ujar Sami'in sembari membenahi jaring burung menutupi bentang sawahnya yang sudah hijau ranum.
Para petani juga masih harus berkutat dengan persoalan pupuk. Meski saat ini secara stok pupuk yang melimpah, kuota pupuk subsidi membuat para petani mendapatkan jatah subsidi yang belum mencukupi.
"Tapi kan butuh pupuk, ya tetep harus beli pupuk yang nonsubsidi. Rp 50 ribu sekarung. Ya kalau enggak dipupuk nanti jelek hasilnya," kata Abas Suryana salah satu petani dari Kelompok Tani Darma Tani, Karawang Barat.
Abas tak menampik, saat ini stok pupuk ada. Tak sulit bagi petani mendapatkan pupuk. Hanya saja, musim kering yang memaksa mereka harus merogoh kocek lebih besar untuk mengatasi perairan, berat bagi para petani untuk membeli pupuk nonsubsidi.