Jumat 13 Oct 2023 15:17 WIB

Novel Baswedan: Firli Sudah tak Bisa Tanda Tangani Surat Penangkapan Syahrul

Novel sebut UU KPK buat Firli tak bisa lagi tandatangani surat penangkapan Syahrul.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bilal Ramadhan
Tersangka kasus dugaan korupsi di Kementan, Syahrul Yasin Limpo (tengah). Novel sebut UU KPK buat Firli tak bisa lagi tandatangani surat penangkapan Syahrul.
Foto: Antara/Asprilla Dwi Adha
Tersangka kasus dugaan korupsi di Kementan, Syahrul Yasin Limpo (tengah). Novel sebut UU KPK buat Firli tak bisa lagi tandatangani surat penangkapan Syahrul.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Eks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, menilai, Ketua KPK Firli Bahuri seharusnya tak bisa menandatangani surat penangkapan eks menteri pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). Sebab, berdasarkan undang-undang yang baru, pimpinan KPK tidak lagi sekaligus menjadi penyidik.

Adapun berdasarkan foto yang beredar, surat perintah penangkapan itu ditandatangani oleh Ketua KPK, Firli Bahuri, tanggal 11 Oktober 2023. Dalam dokumen itu tertulis dia menjabat sebagai pimpinan dan selaku penyidik KPK.

Baca Juga

"Yang seharusnya pimpinan itu sadar karena dengan UU KPK yang baru ini pimpinan bukan lagi penyidik, mestinya dia (Firli Bahuri) tidak bisa menandatangani," kata Novel kepada wartawan, Jumat (13/10/2023).

Novel menjelaskan, surat penangkapan tersangka kasus korupsi biasanya cukup ditandatangani oleh deputi penindakan dan eksekusi KPK. Sehingga tidak harus ditandatangani oleh Pimpinan KPK.

"Firli Bahuri menandatangani (surat) penangkapan, kan lucu itu. Biasanya penangkapan itu tidak harus pimpinan KPK, karena penangkapan itu cukup deputi. Kalau (surat) penahanan memang (harus ditandatangani) pimpinan KPK walaupun dengan UU sekarang itu enggak lagi karena mereka tidak lagi penyidik," ujar Novel.

Dia pun mengaku khawatir jika pejabat struktural yang seharusnya menandatangani surat penangkapan itu justru menolak perintah untuk menyalahgunakan wewenang. Hingga akhirnya Firli sendiri yang menandatangani dokumen tersebut.

"Saya khawatirnya malah seperti itu. Jadi ini parah betul," ujar dia.

Selain itu, Novel menduga, penangkapan SYL juga menjadi upaya untuk menghalangi pengusutan dugaan pemerasan oleh pimpinan KPK. Kasus ini sedang ditangani Polda Metro Jaya.

"Saya melihat ini adalah cara untuk menghalang-halangi perkara pemerasaannya. Kalau sah (atau) tidaknya tentu ada proses yang harus dibuktikan dalam UU," kata Novel.

Menurut Novel, Firli Bahuri menyalahgunakan kekuasaannya sebagai ketua KPK untuk menangkap SYL. Sebab, dia menjelaskan, seharusnya dugaan pemerasan yang dilakukan oleh Pimpinan KPK lebih dulu diselesaikan, lalu dilanjutkan dengan pengusutan kasus korupsi SYL.

"Kalau ada kasus korupsi ditangani, ternyata aparat penegak hukumnya memeras, terus yang harus didahulukan mana? Perkara korupsi atau pemerasannya? Harusnya pemerasannya dulu," ujar Novel.

"Karena sampai kemudian perkara pokoknya digunakan untuk membungkam, untuk menghalang-halangi, untuk mengintimidasi, sehingga para korban dan para saksi tidak berani untuk berbicara menyampaikan fakta apa adanya. Karena ada conflict of interest atau peluang terjadinya abuse of power. Nah, ini yang harus dilihat," kata dia.

Sebelumnya, KPK menangkap SYL di salah satu apartemen di wilayah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Kamis (12/10/2023) malam. Alasannya, lembaga antikorupsi ini khawatir dia bakal melarikan diri hingga menghilangkan barang bukti terkait dugaan korupsi di Kementerian Pertanian (Kementan).

Padahal, KPK sudah menerbitkan surat pemanggilan kedua pada 11 Oktober 2023 terhadap SYL untuk diperiksa terkait kasus korupsi di Kementan pada Jumat (13/10/2023). SYL pun memastikan bakal menghadiri pemanggilan itu. Namun, dia keburu ditangkap KPK.

Adapun pemanggilan pertama SYL harusnya dilakukan 11 Oktober 2023. Tetapi dia sudah mengonfirmasi ke KPK bahwa ia tidak bisa hadir karena harus kembali ke kampung halamannya di Makassar, Sulawesi Selatan untuk menjenguk ibunya yang sedang sakit.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement