Ahad 15 Oct 2023 16:10 WIB

Lego tak Lagi Buat Produknya dari Plastik Daur Ulang, Mengapa?

Lego kini memilih untuk membuat produknya dari material berbahan bakar fosil.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Lego memutuskan berhenti membuat produknya dari plastik daur ulang.
Foto: Reuters
Lego memutuskan berhenti membuat produknya dari plastik daur ulang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perusahaan produk mainan asal Denmark, Lego, telah berkomitmen untuk berinvestasi skala besar dalam isu keberlanjutan. Perusahaan ini telah menjanjikan 1,4 miliar dolar AS atau sekitar Rp 21,9 triliun untuk mengurangi emisi karbon pada tahun 2023, meskipun laba tahunan perusahaan hanya menyentuh 2 miliar dolar AS pada tahun 2022.

Komitmen ini tampaknya bukan sekadar ajang pamer. Lego telah mafhum bahwa pelanggan utamanya adalah anak-anak serta orang tua mereka, dan visi keberlanjutan sangat krusial demi memastikan generasi mendatang dapat mewarisi planet yang sama ramahnya dengan planet yang kita nikmati saat ini.

Baca Juga

Karenanya sangat mengejutkan ketika Financial Times melaporkan bahwa Lego telah menarik diri dari inisiatif "Bottles to Bricks" yang sebelumnya dipublikasikan secara luas. Proyek ambisius ini bertujuan untuk mengganti bahan plastik Lego tradisional dengan bahan baru yang terbuat dari plastik daur ulang.

Lantas apa alasannya? Setelah mengkaji dampak lingkungan dari inisiatif "Bottle to Bricks" di seluruh rantai pasoknya, Lego menemukan bahwa memproduksi bricks dengan plastik daur ulang akan membutuhkan material dan energi ekstra. Karena proses konversi ini akan menghasilkan emisi karbon yang lebih tinggi, perusahaan memutuskan untuk tetap menggunakan material berbasis bahan bakar fosil, sambil terus mencari alternatif yang lebih berkelanjutan.

Profesor Manajemen Operasi dan Analisis Bisnis di Carey Business School Johns Hopkins University, Tinglong Dai, mengamati bahwa saat ini para pemimpin bisnis mulai 'berlomba' mengintegrasikan faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) ke dalam kerangka kerja operasional dan strategis mereka. Namun, menurut Dai, upaya keberlanjutan membutuhkan pengawasan terhadap seluruh siklus produksi, mulai dari bahan, proses pembuatan, penggunaan, hingga pembuangan akhir.

"Dan hasilnya sangat mengejutkan, karena dapat mengarah pada hasil yang berlawanan dengan intuisi, seperti yang ditemukan oleh Lego,” kata Prof Tinglong Dai seperti dilansir Science Alert, Ahad (15/10/2023).

Untuk memahami seluruh jejak karbon perusahaan, kita perlu mengidentifikasi tiga jenis emisi: emisi lingkup pertama dihasilkan secara langsung oleh operasional internal perusahaan. Emisi lingkup kedua dihasilkan oleh pembangkit listrik, uap, panas, atau pendingin yang dikonsumsi perusahaan. Terakhir, emisi lingkup ketiga dihasilkan oleh rantai pasokan perusahaan, mulai dari rantai pasok hulu, distributor hingga pelanggan. 

Hingga saat ini, hanya 30 persen perusahaan yang melaporkan emisi lingkup tiga, sebagian besar alasannya karena emisi ini sulit untuk dilacak. Namun, menurut lembaga non-profit CDP, emisi lingkup tiga perusahaan rata-rata 11,4 kali lebih besar daripada emisi lingkup pertama.

Lego adalah studi kasus tentang distribusi yang timpang ini dan pentingnya melacak emisi lingkup tiga. Pasalnya, sebanyak 98 persen dari emisi karbon Lego dikategorikan sebagai lingkup tiga.

Karena emisi lingkup 3 cukup signifikan, namun seringkali tidak diukur atau dilaporkan, konsumen kerap merasa khawatir bahwa perusahaan yang mengklaim memiliki emisi rendah mungkin saja melakukan greenwashing tanpa melakukan tindakan untuk mengurangi emisi dalam rantai pasokan mereka.

“Pada saat yang sama, kami menduga semakin banyak investor yang mendukung investasi berkelanjutan, mereka mungkin lebih memilih untuk berinvestasi di perusahaan yang transparan dalam mengungkapkan semua bidang emisi,” kata Tinglong Dai.

Dari tahun 2020 hingga 2021, total emisi perusahaan Lego meningkat sebesar 30 persen, di tengah melonjaknya permintaan set Lego selama lockdown Covid-19. Meskipun emisi ruang lingkup dua perusahaan yang terkait dengan energi menurun sebesar 40 persen, peningkatan emisi hampir seluruhnya terjadi pada emisi ruang lingkup tiga.

Pada akhirnya, kisah Lego berfungsi sebagai peringatan dalam lanskap ESG yang kompleks, di mana sebagian besar perusahaan tidak siap. Dengan semakin banyaknya perusahaan yang berada di bawah pengawasan atas seluruh jejak karbon mereka, kita mungkin akan melihat lebih banyak contoh di mana upaya keberlanjutan yang bermaksud baik justru menghadapi kenyataan yang tidak menyenangkan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement