REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Penduduk Gaza kini bersiap-siap menghadapi serangan darat dengan ribuan pasukan dan gempuran tank Israel. Juru bicara militer Israel Richard Hecht mengatakan pasukan sedang mempersiapkan manuver darat.
Peralatan militer dan barisan kendaraan lapis baja telah dipindahkan ke garis depan. Sekitar 360.000 tentara cadangan telah dikerahkan. Ini menjadi mobilisasi wajib militer terbesar sejak Perang Yom Kippur tahun 1973.
Nafsu politik untuk melakukan serangan darat tampaknya sudah pasti. Namun, Israel kemungkinan akan membayar harga yang sangat tinggi dengan menyerang Gaza lewat jalur darat.
Serangan darat ke Gaza diprediksi akan rumit. Gaza merupakan salah satu yang paling padat penduduknya di dunia, dengan hampir 5.500 penduduk per meter persegi. Jalanan yang padat dan sempit cenderung memaksa pertempuran dilakukan dengan tangan kosong.
Kerumitan itu bertambah dengan jaringan terowongan Gaza, yang dijuluki "Metro Gaza" oleh para ahli keamanan Israel. Beberapa terowongan memiliki kedalaman hingga 30 atau 40 meter, yang memungkinkan para pejuang Palestina untuk bergerak di bawah tanah sementara langit dihujani berton-ton bahan peledak.
Ada kemungkinan sebagian jaringan terowongan itu sudah diketahui tentara dan intelijen Israel karena pada 2021 mereka membombardir lokasi tersebut. Namun, diyakini masih banyak terowongan rahasia yang belum terekspos sehingga akan menyulitkan pasukan Israel.
Di masa lalu, Israel enggan mengirim pasukannya ke Gaza. Sebuah memo militer tahun 2014 yang bocor ke media mengatakan bahwa operasi ke Gaza akan memakan waktu lima tahun. Israel saat itu sadar, serangan darat langsung ke Gaza akan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa yang sangat besar. Selain itu, akan membahayakan perjanjian damai dengan Mesir dan negara-negara Arab lainnya di wilayah tersebut.
Namun, pada tahun 2023, konteksnya telah berubah. "Informasi yang kami dengar dari Israel hari ini adalah bahwa guncangan [yang disebabkan oleh serangan Hamas] begitu besar sehingga Israel tidak bisa tidak melakukan apa-apa. Entah itu melakukan negosiasi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun untuk membebaskan para sandera, atau bertindak sekarang," kata Jenderal Dominique Trinquand, mantan kepala misi militer Prancis untuk PBB.
Namun, tentara Israel tidak memiliki jaminan untuk mencapai tujuan utamanya: menghancurkan Hamas dengan cepat sembari membatasi jumlah pasukan dan korban sipil.