REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Ketika Israel mengintensifkan serangan udara di Jalur Gaza yang dikuasai Hamas dan meminta penduduknya bergerak ke selatan, menuju perbatasan dengan Mesir, beberapa orang seperti ayah enam anak, Fadi Daloul, berpikir itu akan menjadi pilihan yang aman. Dia pun mengumpulkan seluruh hartanya untuk melakukan perjalanan.
Daloul merupakan salah satu warga Palestina di Gaza yang sangat ingin menemukan tempat persembunyian yang aman. Dia mencoba menghindari dampak dari keputusan militer Israel yang sedang mempersiapkan serangan darat yang disertai dengan serangan udara tanpa henti.
"Kita hidup di bawah tekanan, kita tidak memantau hal ini sebelumnya. Ini sangat besar. Ini adalah ancaman yang sangat besar. Anak-anak, seperti yang Anda lihat... ke mana kita harus membawa mereka?" kata Daloul.
Perjalanan ke selatan juga penuh dengan risiko. Israel telah melancarkan pemboman paling dahsyat di Gaza yang sempit dan miskin, salah satu daerah terpadat di dunia. rftf
Bagi Daloul, prioritasnya adalah kelangsungan hidup keluarganya ketika serangan udara Israel meratakan bangunan-bangunan di Gaza. Dia semakin terpojok saat wilayah itu diblokade oleh Israel dan Mesir ketika krisis kemanusiaan terjadi dan rumah sakit kehabisan stok obat-obatan.
“Apalagi ketika kami keluar (rumah kami), kami melihat di jalan ada orang-orang yang terbakar dan terkena serangan udara. Alhamdulillah kami selamat dan sampai di selatan," kata Daloul.
Hamas telah meminta masyarakat untuk tidak pergi dan mengatakan jalan keluar tidak aman. Israel mengatakan Hamas mencegah orang-orang meninggalkan negaranya untuk menggunakan mereka sebagai tameng hidup, namun hal ini dibantah oleh Hamas.
Banyak warga Gaza menolak meninggalkan rumah mereka ke wilayah selatan, karena takut terulangnya “Nakba”. Ketika itu banyak warga Palestina melarikan diri atau terpaksa meninggalkan rumah mereka selama perang 1948 yang menyertai berdirinya Israel.
Sekitar 700 ribu warga Palestina, setengah dari populasi Arab di wilayah Palestina yang dikuasai Inggris, dirampas haknya dan terusir dari tempat tinggal. Banyak dari mereka yang pindah ke negara-negara Arab tetangga atau banyak keturunan mereka tetap tinggal di kamp pengungsi.
Israel membantah pernyataan bahwa mereka mengusir warga Palestina. Tel Aviv mengatakan bahwa mereka diserang oleh lima negara Arab setelah pembentukannya.
Tapi wilayah pesisir kecil yang terjepit di antara Israel di utara dan timur serta Mesir di barat daya adalah rumah bagi sekitar 2,3 juta orang yang hidup di bawah blokade sejak Hamas mengambil kendali pada 2007. Kini kondisi mereka semakin terpuruk dengan pemutusan kebutuhan dasar.
Israel mengatakan pihaknya tetap membuka dua jalur agar orang dapat melarikan diri. Namun warga Palestina yang mengungsi dengan melarikan diri melalui jalan tersebut mengatakan pemboman Israel di wilayah timur sekitar jalan tersebut tidak pernah berhenti.
Warga Palestina yang diminta ke selatan nyatanya tetap dibom...