REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Tim Pemenangan Nasional Ganjar Presiden (TPN GP), Arsjad Rasjid, tak ambil pusing jelang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Sebab, tugas utamanya adalah memenangkan Ganjar dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
"Kalau mengenai MK, itu kan hak keputusan MK, kalau kita kan fokus kepada kemenangan. Jadi kita ingin memenangkan Mas Ganjar Pranowo dan kami fokus di situ dan memastikan Mas Ganjar akan bisa menang di dalam kontestasi 2024 ini," ujar Arsjad di Media Center TPN GP, Jakarta, Ahad (15/10/2023) malam.
Ia sendiri tak mempermasalahkan apa pun keputusan MK terkait gugatan usia minimal capres-cawapres. Hal tersebut tak memengaruhi strategi pemenangan timnya untuk Ganjar pada kontestasi nasional mendatang.
"Jadi itu keputusan apa pun yang ada ya kita akan fokus pada apa yang akan kita jalankan, karena kita fokus bahwa Mas Ganjar," ujar Arsjad.
Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi dari Universitas Muslim Indonesia Makassar, Fahri Bachmid, menyebut sejumlah opsi yang berpeluang diputus Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai gugatan usia minimum capres-cawapres. Salah satu opsinya adalah syarat usia 40 tahun dipertahankan, tetapi ditambah pernah menjabat sebagai kepala daerah.
Fahri menekankan pada hakikatnya MK tak berwenang untuk menetapkan norma terkait batas usia capres atau cawapres dalam tata norma hukum. Sebab persoalan tersebut merupakan domain pembentuk UU, yaitu DPR dan presiden.
"Saya berpendapat ada beberapa kemungkinan serta varian putusan MK dalam perkara itu," kata Fahri dalam keterangannya yang diterima Republika pada Ahad (15/10/2023).
Ada sejumlah opsi yang bisa diputus MK dalam perkara batas usia capres/cawapres yaitu menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima, menolak permohonan pemohon, mengabulkan permohonan Pemohon sebagian/seluruhnya. Walau demikian, Fahri menyebut MK dapat menambahkan amar selain opsi-opsi tersebut.
"Jika kita mencermati perkembangan persidangan MK dalam mengadili perkara 'a quo' selama ini, sangat potensial akan terjadi dua kemungkinan," ujar Fahri.