REPUBLIKA.CO.ID, ROMA -- Menteri Luar Negeri Italia, Antonio Tajani mengecam negara yang melarang aksi solidaritas Palestina, yang dilakukan secara damai dan tanpa kekerasan. Hal ini mengacu pada Pemerintah Prancis yang melarang aksi solidaritas untuk Palestina.
"Setiap negara membuat keputusannya sendiri, namun melarang demonstrasi yang tidak mengandung kekerasan, menurut saya itu bukan hal yang benar,” kata Tajani kepada stasiun radio Italia, RTL, Ahad (15/10/2023).
Tajani mengatakan, setiap orang berhak untuk menunjukkan dukungan kepada Palestina. Selain itu, tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan jika aksi protes atau aksi solidaritas berlangsung secara damai.
“Selama tidak ada kekhawatiran bahwa (unjuk rasa) bisa menjadi kekerasan, selama (demonstrasi) berlangsung damai, demokrasi dapat ditunjukkan. Sama seperti Anda menunjukkan dukungan terhadap Israel, Anda juga dapat menunjukkan dukungan terhadap Palestina," ujar Tajani, dilaporkan Anadolu Agency.
Dalam pernyataan terpisah, Tajani juga mengatakan bahwa dia telah berbicara dengan timpalannya Menteri Luar Negeri Tunisia, Nabil Ammar mengenai perdamaian dan stabilitas regional. Menurut Tajani, koridor kemanusiaan perlu dibuka untuk melindungi warga sipil yang lemah di Gaza.
“Kami sepakat mengenai perlunya upaya untuk perdamaian dan stabilitas regional, mengaktifkan koridor kemanusiaan untuk melindungi kelompok yang paling lemah, dimulai dari perempuan dan anak-anak,” kata Tajani
Menteri Dalam Negeri Perancis, Gerald Darmanin memerintahkan pelarangan semua demonstrasi pro-Palestina. Prancis melakukan penangkapan penyelenggara aksi solidaritas untuk Palestina. Dia mengatakan, aksi unjuk rasa seperti itu dapat mengganggu ketertiban umum.
Delapan pesawat yang membawa bantuan dari Turki, Uni Emirat Arab, Yordania, Tunisia, dan Organisasi Kesehatan Dunia telah mendarat di bandara Al Arish di Sinai dalam beberapa hari terakhir. Sementara konvoi lebih dari 100 truk sedang menunggu di kota tersebut untuk mendapatkan izin memasuki Gaza.
Perang Palestina-Israel terbaru dimulai pada Sabtu (7/10/2023) ketika Hamas memulai Operasi Badai Al-Aqsa terhadap Israel. Hamas melancarkan serangan mengejutkan dengan menembakkan ribuan roket dan infiltrasi ke Israel melalui darat, laut, dan udara.
Hamas mengatakan, serangan ini merupakan tanggapan keras atas penyerbuan Masjid Al-Aqsa di Yerusalem Timur oleh pemukim Yahudi, dan meningkatnya kekerasan pemukim Israel terhadap warga Palestina. Israel dibuat kewalahan dengan operasi mendadak Hamas yang menggunakan taktik jenius.
Menanggapi tindakan Hamas, militer Israel melancarkan Operasi Pedang Besi di Jalur Gaza. Serangan udara Israel menghancurkan rumah warga sipil Gaza, gedung perkantoran, dan fasilitas publik seperti sekolah.
Ribuan warga sipil Gaza, termasuk anak-anak meninggal dunia. Respons Israel meluas hingga memotong pasokan air dan listrik ke Gaza, yang semakin memperburuk kondisi kehidupan di wilayah yang terkepung sejak 2007.