REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO – Israel masih menghambat upaya pengiriman bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza. Pemerintah Mesir mengungkapkan, jalur penyeberangan Rafah, yang menjadi pintu lalu lintas masuk utama ke dan keluar Jalur Gaza, tidak ditutup secara resmi. Tapi truk-truk pengangkut bantuan kemanusiaan tak dapat melintas akibat terus berlanjutnya serangan udara Israel di sisi Gaza.
“Ada kebutuhan mendesak untuk meringankan penderitaan warga sipil Palestina di Gaza,” kata Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry kepada wartawan, Senin (16/10/2023), seraya menambahkan bahwa pembicaraan dengan Israel tidak membuahkan hasil.
“Sampai saat ini Pemerintah Israel belum mengizinkan untuk membuka penyeberangan Rafah dari sisi Gaza untuk memungkinkan masuknya bantuan dan keluarnya warga negara ketiga,” tambah Shoukry.
Shoukry mengatakan, Mesir menginginkan agar jalur penyeberangan Rafah dapat berfungsi seperti biasanya. Termasuk bagi warga Palestina yang mencari perawatan medis atau perjalanan normal.
Sebelumnya dua sumber keamanan Mesir mengatakan kepada Reuters bahwa gencatan senjata di Gaza selatan yang berlangsung beberapa jam telah disepakati pada Senin pagi. Hal itu guna memfasilitasi proses pengiriman bantuan dan evakuasi di Rafah.
Namun Israel kemudian membantah adanya kesepakatan semacam itu. “Saat ini tidak ada gencatan senjata dan bantuan kemanusiaan di Gaza sebagai imbalan atas keluarnya orang asing,” kata sebuah pernyataan dari kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Pejabat Hamas Izzat El-Reshiq menyampaikan hal yang sama kepada Reuters. Menurut laporan Al Arabiya, perbatasan Rafah ke Gaza dibuka pada Senin pagi waktu setempat.
Namun, menurut laporan Lembaga nonpemerintah Mesir, Sinai Foundation for Human RightsKesepakatan pembukaan penyeberangan Rafah, yang dijadwalkan pada Senin pagi, terhenti. Terhentinya kesepakatan pembukaan penyeberangan Rafah ini dikarenakan adanya desakan dari pihak Israel untuk memeriksa seluruh truk bantuan kemanusiaan sebelum memasuki Jalur Gaza.
Terdapat lebih dari 100 truk yang mengangkut bantuan kemanusiaan mengantre untuk memasuki Jalur Gaza. Menurut dua sumber dan seorang saksi di lokasi yang dikutip Reuters, truk-truk pengangkut ratusan ton bantuan dari LSM serta beberapa negara sedang menunggu di kota Al-Arish di Mesir untuk mendapatkan kondisi yang memungkinkan masuk ke Gaza.
Secara terpisah, video Reuters menunjukkan truk bahan bakar berbendera PBB tampak meninggalkan Gaza menuju Mesir melalui penyeberangan Kerem Shalom yang dikuasai Israel.
Pertempuran antara Hamas dan Israel telah berlangsung selama 10 hari, terhitung sejak 7 Oktober 2023. Korban luka dan jiwa, baik di Israel maupun di Jalur Gaza, terus bertambah.
Di Gaza, jumlah korban meninggal telah mencapai 2.750 jiwa. Angka itu telah melampaui korban jiwa dalam agresi paling brutal Israel ke Gaza yang berlangsung selama sekitar enam pekan pada 2014. Kala itu, menurut data PBB, jumlah warga Palestina yang terbunuh mencapai 2.251 jiwa.
“Dalam pembaruan terbarunya, Kementerian Kesehatan mengatakan 2.750 warga Palestina terbunuh dalam serangan udara Israel di Jalur Gaza yang terkepung, dan lebih dari 9.700 orang terluka sejak dimulainya agresi Israel pada 7 Oktober,” kata kantor berita Palestina, WAFA, dalam laporannya, Senin (16/10/2023).
Dari jumlah korban meninggal di Jalur Gaza saat ini, lebih dari 700 di antaranya merupakan anak-anak. Sementara korban jiwa di kalangan perempuan hampir mencapai 400 orang.
Menurut PBB, serangan udara Israel yang dimulai sejak 7 Oktober 2023 lalu, juga telah menyebabkan setidaknya 1 juta warga Gaza terlantar dan mengungsi. Kelompok The Euro-Med Human Rights Monitor (EMHRM), dalam keterangannya pada Sabtu (14/10/2023) mengungkapkan, agresi Israel menghancurkan 2.650 bangunan tempat tinggal di Gaza.
Kini kondisi kehidupan warga Palestina di Jalur Gaza juga sangat mengkhawatirkan. Hal itu karena Israel memberlakukan blokade total terhadap wilayah tersebut. Pasokan barang-barang esensial, seperti makanan, obat-obatan, termasuk listrik dan air, disetop.