REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Staf Teknis Komunikasi Transformasi Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dr Ngabila Salama mengatakan rokok adalah biang kerok dari berbagai macam jenis permasalahan (multidimensional) di Indonesia bahkan dunia.
"Rokok tidak hanya jadi masalah di bidang kesehatan, tapi juga sosio-ekonomi dan budaya," kata Ngabila dalam gelar wicara daring terkait rokok di Jakarta, Senin (16/10/2023).
Ngabila mengatakan, terdapat banyak penelitian tentang rokok yang mengakibatkan permasalahan kesehatan. Tidak hanya masalah fisik, tapi juga permasalahan mental seperti kecemasan, gelisah, dan depresi yang berlebihan.
Selain di bidang kesehatan, dia juga menjelaskan bahwa rokok juga berakibat pada permasalahan ekonomi. Di mana terdapat penelitian yang membuktikan bahwa rokok merupakan konsumsi kedua terbanyak pada keluarga miskin. Dia menilai belanja rokok pada keluarga miskin seharusnya dapat dialihkan menjadi belanja protein hewani seperti daging, ayam, dan telur.
Selain itu, terdapat pula penelitian yang menyatakan dengan menurunkan satu persen belanja rokok, maka turut menurunkan kemiskinan sebesar enam persen. "Padahal satu batang rokok harganya Rp 1.500, paling murah, itu harganya sama kayak satu butir telur," katanya.
Ngabila menyebutkan, rokok juga berperan dalam menyebabkan anak menjadi stunting (gangguan pertumbuhan pada anak), mengalami gangguan motorik, gangguan perkembangan, hingga gangguan mental. Gangguan mental pada anak, katanya, juga dapat menyebabkan gangguan konsentrasi pada anak, sehingga dapat menyebabkan anak sering melamun dan menyebabkan prestasi anak menjadi menurun.
Hal tersebut, kata dia, dipengaruhi oleh sekitar tujuh ribu zat berbahaya yang terkandung pada rokok, terutama nikotin yang mengakibatkan adiksi, tar yang memicu kanker pada tubuh, serta karbon monoksida yang menyebabkan sel darah menjadi kekurangan oksigen. Karena itu, dia mengimbau kepada masyarakat untuk berhenti merokok, termasuk kepada perokok pemula agar tidak memulai untuk merokok.
Beberapa caranya adalah dengan meningkatkan harga cukai rokok serta membatasi iklan rokok. Untuk itu, dia mengusulkan kepada pemangku kepentingan terkait agar lebih memperketat regulasi perihal iklan rokok.
"Fenomenanya dengan melihat iklan, maka kemungkinan seseorang untuk dapat merokok (menjadi) lima kali lipat lebih besar," kata Ngabila.