Selasa 17 Oct 2023 16:10 WIB

Hobi Makan Satai, Coba Cek Dulu Titik Kritis Kehalalannya

Kehalalan daging dan bumbu yang digunakan harus dicek kehalalannya.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Natalia Endah Hapsari
Sebelum menyantap satai, hal pertama yang harus dikritisi kehalalannya adalah daging ayam yang digunakan untuk satai ayam.
Sebelum menyantap satai, hal pertama yang harus dikritisi kehalalannya adalah daging ayam yang digunakan untuk satai ayam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Satai ayam merupakan makanan lezat yang bisa dibeli di gerobak kaki lima maupun di restoran. Satai ayam disajikan dengan bumbu kacang dan disantap dengan menggunakan nasi atau lontong dan juga sambal. 

Sebelum menyantap satai ayam atau membuat satai ayam sendiri, sebagai seorang Muslim dan Muslimah, kita harus memikirkan titik kritis kehalalan makanan tersebut. Hal pertama yang harus dikritisi adalah daging ayam yang digunakan untuk satai ayam. 

Baca Juga

Satai taichan menggunakan daging ayam, di mana ini bahan baku satainya sama dengan satai ayam. 

Dilansir video YouTube Halal Corner berjudul Titik Kritis Halal Sate Taichan (Kuliner Malam Part 2), Senin (16/10/2023), kalau kita ingin membeli atau membuat sendiri satainya, pastikan daging ayamnya halal.

“Pertama satenya sendiri dia itu dari daging ayam yang perlu kamu kritisi adalah daging ayamnya. Kalau kamu mau beli atau kamu mau buat sendiri, kamu pastikan ini daging ayamnya halal enggak ya?” kata video tersebut, dikutip Republika pada Selasa (17/10/2023). 

“Maksudnya sudah disembelih secara syariat Islam atau enggak. Karena kalau enggak, berarti kan itu masuknya bangkai dan itu haram, kita enggak bisa makan.” 

Kemudian, kita juga harus memperhatikan titik kritis bumbu yang digunakan di dalam masakan tersebut. 

“Kedua, dari sate taichan ya itu dia kan kayak sambal, sambal itu kamu bayangin deh atau kamu bisa googling resep-resep bumbunya apa sih? Dari situ kamu bisa tahu titik kritis makanannya apa.” 

Masakan satai ayam sendiri menggunakan berbagai bumbu, di antaranya gula dan kecap. Ir Muti Arintawati MSi, Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) saat ini, pernah menjelaskan bahwa meski bahan baku gula berasal dari tumbuhan, tak serta merta gula tersebut halal. Begitu juga sebaliknya. Sebab ada proses lanjutan yang melibatkan bahan-bahan lain yang harus dicermati halal haramnya. 

“Sama seperti bahan tambahan lain dalam sebuah produk olahan makanan atau minuman, gula juga memiliki titik kritis haram yang harus diperhatikan saat auditor kami melakukan pemeriksaan di lapangan,” jelas Muti, dikutip dari laman Halal MUI. 

Dalam hal gula tebu misalnya, Muti menyebutkan di masyarakat beredar dua Jenis gula yang sesuai peruntukannya dan ditangani dengan cara yang berbeda.Ada gula yang dikonsumsi masyarakat secara langsung, misalnya untuk pemanis minum teh atau kopi. 

Gula jenis ini di masyarakat dikenal dengan istilah gula pasir. Meski bahan dasarnya sama, yakni tebu, bentuk dan kegunaan masing-masing jenis gula bisa berbeda. Contohnya, gula muscovado dan gula donat. 

Sedangkan untuk industri digunakan gula rafinasi yang bahan baku utamanya adalah gula mentah (raw sugar), namun memerlukan proses lanjutan. Agar bisa menjadi gula yang siap pakai sebagai bahan tambahan pada industri makanan atau minuman, maka raw sugar tersebut harus melalui proses rafinasi, yang tahapannya cukup panjang. 

Untuk alasan higienitas dan kesehatan, industri makanan dan minuman membutuhkan kualitas gula yang lebih baik yang diperoleh dari gula rafinasi. Jadi bisa dikatakan bahwa gula rafinasi adalah gula yang mempunyai kualitas kemurnian yang tinggi karena sudah disuling, disaring dan dibersihkan.

Mengingat gula rafinasi melalui proses panjang dan menggunakan bahan tambahan maupun bahan penolong, maka gula jenis ini memang layak dicermati kehalalannya.

Dari sisi kandungan bahan haram, seperti dijelaskan dalam buku Halal Assurance System (HAS) seri 23101 tentang Pedoman Pemenuhan Kriteria Jaminan Halal di Industri Pengolahan, gula termasuk dalam kelompok bahan kritis. Dalam buku tersebut dijelaskan, ada tiga kategori bahan, yakni bahan sangat kritis, bahan tidak kritis, dan bahan kritis, yaitu bahan yang tidak termasuk dalam kelompok bahan sangat kritis dan bahan tidak kritis. 

Sementara itu, secara tradisional, LPPOM MUI mengatakan proses pembuatan kecap bisa ditambahkan dengan berbagai bahan untuk menambah rasa serta aroma. Penambahan bahan-bahan inilah yang kerap menjadi titik kritis kehalalan dari kecap, termasuk kecap manis. 

Alasannya, sebagian bahan-bahan yang ditambahkan bisa berupa produk hewani, seperti sumsum tulang hewan, kepala ayam, kepala ikan, dan bahkan darah hewan meski sangat jarang. Penggunaan tulang untuk menambah cita rasa kecap tentu tidak menjadi masalah dari segi kehalalan, selama tulang tersebut berasal dari hewan yang halal dan disembelih secara halal. 

“Akan tetapi, tulang yang tidak jelas asal-usulnya dan darah dapat menimbulkan masalah dalam kehalalan makanan,” ujar LPPOM MUI melalui laman Halal MUI.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement