REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Celios Nailul Huda menilai, temuan cek senilai Rp 2 triliun saat KPK menggeledah rumah dinas eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) tidak wajar. Sebab, menurut dia, ada batas nominal pencairan suatu cek.
Diketahui penyidik KPK menemukan cek suatu bank swasta senilai Rp 2 triliun atas nama Abdul Karim Daeng Tompo, tertanggal 28 Agustus 2018. Dokumen itu ditemukan KPK saat menggeledah rumah dinas SYL di Widya Chandra, Jakarta Selatan, Kamis (28/9/2023) lalu.
"Kalau dilihat dari batas dan maksimal pencairan, sepertinya itu tidak valid, batas cek itu Rp 500 juta," kata Nailul dalam keterangan tertulisnya, Senin (16/10/2023).
Nailul menjelaskan, pencairan cek juga dibatasi hanya berlaku maksimal 70 hari setelah diterbitkan. Sehingga ia menilai, cek yang ditemukan oleh penyidik KPK sudah tidak berlaku lagi dan tak wajar.
"Saya tidak mengerti terkait kasusnya, tapi memang tidak wajar ada cek senilai Rp 2 triliun," ungkap Nailul.
"Satu penarikan dengan nominal fantastis, apalagi perorangan. Tidak masuk akal kalau menurut saya," sambung dia.
KPK menemukan cek senilai Rp 2 triliun saat menggeledah rumah dinas SYL. Namun, temuan ini baru diketahui dan ramai usai ditulis salah satu media beberapa hari belakangan.
Padahal, saat mengungkapkan hasil penggeledahan itu pada 29 September 2023, KPK hanya menyebutkan adanya temuan duit tunai senilai Rp 30 miliar berupa pecahan mata uang asing dan rupiah, serta sejumlah dokumen yang diduga berkaitan dengan kasus korupsi di Kementan.
"Memang benar, tim penyidik KPK menemukan cek senilai Rp 2 triliun yang dimaksud, pada saat penggeledahan rumah dinas Menteri Pertanian," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri dalam keterangan tertulisnya.
Meski demikian, KPK mengaku akan segera mengecek validitas temuan itu. "Kami segera melakukan klarifikasi, untuk memastikan validitas dari barang bukti yang dimaksud," ujar Ali.
Sebelumnya, KPK menetapkan tiga tersangka dalam kasus korupsi di Kementan. Mereka adalah SYL, Sekjen Kementan Kasdi Subagyono serta Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementan, Muhammad Hatta.
KPK lebih dulu menahan Kasdi pada Rabu (11/10/2023). Sedangkan SYL dan Hatta baru ditahan pada Jumat (13/10/2023) usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka.
Dalam kasus ini, SYL diduga membuat kebijakan personal untuk meminta setoran dari para ASN eselon I dan eselon II di lingkungan Kementerian Pertanian (Kementan). Eks Gubernur Sulawesi Selatan ini menentukan nominal uang yang harus disetorkan sebesar 4.000-10 ribu dolar Amerika Serikat.
Uang itu kemudian diserahkan setiap bulan ke SYL melalui dua anak buahnya, yakni Kasdi dan Hatta. Penyerahan tersebut dilakukan dalam bentuk tunai, transfer rekening bank hingga barang maupun jasa.
Seluruh uang yang disetorkan selanjutnya digunakan oleh SYL untuk memenuhi kebutuhan pribadi, termasuk keluarga intinya. Penggunaan ini pun diketahui oleh Kasdi dan Hatta, di antaranya untuk membayar cicilan kartu kredit dan cicilan pembelian mobil Alphard milik SYL, perbaikan rumah pribadi, tiket pesawat bagi keluarga, hingga pengobatan dan perawatan wajah bagi keluarga yang nilainya miliaran rupiah.