Selasa 17 Oct 2023 10:37 WIB

Gencarkan Wholesale, Bank Syariah Harus Mampu Mitigasi Risiko

Bank syariah perlu memiliki kapasitas dan kemampuan menyerap risiko.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Lida Puspaningtyas
Dari ki-ka: Head of Corporate Solution Group BSI Indra Kampono, Head of Corporate Business 1 Group BSI Fiti syam, Head of Corporate Counsel PT. MPI Ibnu Nurzaman, Direktur Keuangan PT. MPI Susilawati Nasution, dan Direktur Wholesale Transaction Banking BSI Kusman Yandi dalam acara Penandatanganan Pembiayaan Line Facility antara Bank Syariah Indonesia dengan PT Medco Power Indonesia di Gedung The Tower, Jakarta, Rabu (27/4).
Foto: dok. BSI
Dari ki-ka: Head of Corporate Solution Group BSI Indra Kampono, Head of Corporate Business 1 Group BSI Fiti syam, Head of Corporate Counsel PT. MPI Ibnu Nurzaman, Direktur Keuangan PT. MPI Susilawati Nasution, dan Direktur Wholesale Transaction Banking BSI Kusman Yandi dalam acara Penandatanganan Pembiayaan Line Facility antara Bank Syariah Indonesia dengan PT Medco Power Indonesia di Gedung The Tower, Jakarta, Rabu (27/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin menegaskan keberadaan para pengusaha memegang peranan penting dalam pengembangan ekonomi dan syariah di Indonesia. Karena itu, Kiai Ma'ruf mendorong berbagai upaya untuk memperbanyak pengusaha muslim atau berbasis syariah.

Pengamat Ekonomi Syariah dari Universitas Indonesia (UI) Yusuf Wibisono menyebut hal yang lebih relevan untuk dibahas adalah kesiapan dari bank syariah dalam menyiapkan produk pembiayaan tersebut. Terutama, kemampuan mitigasi dan menyerap risiko kerugian.

"Kalau Wapres ingin lebih banyak pengusaha menggunakan bank syariah, maka yang lebih urgent adalah kesiapan bank syariah untuk masuk ke segmen wholesale, terutama kemampuan mitigasi dan menyerap risiko kerugian. Hal ini karena pembiayaan korporat melibatkan ukuran pendanaan yang tinggi dan membutuhkan kapasitas penilaian pembiayaan yang lebih kompleks, terkait kelayakan bisnis, risiko usaha, struktur pembiayaan yang sesuai dengan profil usaha debitur, hingga penilaian karakter debitur," terangnya kepada Republika Senin (16/10/2023).

Isu krusial berikutnya adalah tata kelola pembiayaan yang kuat dimana antara pihak penilai di bank syariah dan debitur benar-benar tidak memiliki konflik kepentingan, sehingga mencegah terjadinya moral hazard atau perilaku yang tidak bermoral dalam pemberian pembiayaan.

"Kapasitas dan moralitas pengelola bank syariah harus benar-benar teruji sehingga pemberian pembiayaan murni didasarkan atas pertimbangan kelayakan bisnis, bukan atas faktor kedekatan atau bahkan karena suap," ujarnya.

Karena, bila bercermin pada pengalaman kegagalan Bank Muamalat ketika pertama kali mencoba masuk ke segmen wholesale, saat itu pembiayaan macet melonjak tinggi. Hal ini harus menjadi pelajaran berharga bagi semua bank syariah yg ingin masuk ke segmen wholesale agar benar-benar mempersiapkan kapasitas dan moralitas pengelola bank.

"Jika memiliki kapasitas dan kemampuan menyerap risiko, peluang wholesale adalah besar bagi bank syariah, terutama bank syariah dengan modal besar," ucapnya.

Misalnya, pembiayaan untuk sektor infrastruktur, dimana umumnya proyek membutuhkan pembiayaan jangka panjang, cocok dengan skema-skema syariah seperti ijarah atau murabahah. Namun aktiva bank yang bersifat jangka panjang tentu membutuhkan manajemen likuiditas yang memadai agar tidak terjadi ketidakcocokan dengan kewajiban bank yang umumnya jangka pendek.

"Secara singkat, jika bank syariah sudah memiliki kesiapan, peluang untuk masuk ke segmen wholesale adalah besar, tanpa harus ada himbauan ke pengusaha," terangnya lagi.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement