REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Invasi darat ke Jalur Gaza melibatkan pertempuran perkotaan dari rumah ke rumah dan membawa risiko besar bagi penduduk sipil. Serangan udara telah merenggut ratusan nyawa, dan lebih dari 400.000 orang meninggalkan rumah mereka.
Militer mempunyai tugas tambahan untuk menyelamatkan sedikitnya 150 sandera, yang ditahan di lokasi yang tidak diketahui di seluruh Gaza. Kepala Staf Pasukan Pertahanan Israel (IDF), Herzi Halevi telah berjanji untuk memusnahkan kelompok perlawanan Palestina, Hamas yang berkuasa di Gaza.
Israel telah berperang empat kali dengan Hamas, dan setiap upaya untuk menghentikan serangan roket Hamas selalu gagal. Juru bicara IDF, Letkol Jonathan Conricus mengatakan, pada akhir perang ini, Hamas seharusnya tidak lagi memiliki kapasitas militer untuk mengancam atau membunuh warga sipil Israel.
Sayap bersenjata Hamas, Brigade Izzedine al-Qassam, akan bersiap menghadapi serangan Israel. Alat peledak telah dipasang, dan penyergapan direncanakan. Mereka dapat menggunakan jaringan terowongannya yang luas untuk menyerang pasukan Israel.
Pada 2014, batalion infanteri Israel menderita kerugian besar akibat ranjau anti-tank, penembak jitu dan penyergapan. Sementara ratusan warga sipil wafat dalam pertempuran di lingkungan utara Kota Gaza.
Warga Israel telah diperingatkan bahwa perang bisa memakan waktu berbulan-bulan, dan tercatat 360.000 tentara cadangan telah melapor untuk bertugas. Gaza dengan cepat menjadi tempat pembantaian akibat serangan udara Israel.
Jumlah korban yang meninggal meningkat dengan cepat. Sementara pasokan air, listrik, dan bahan bakar telah terputus, dan kini separuh penduduk diminta mengungsi dari wilayah Gaza.
“Pemerintah dan militer merasa mendapat dukungan dari komunitas internasional, setidaknya dari para pemimpin Barat. Filosofinya adalah 'mari kita bergerak, kita punya banyak waktu',” kata Yossi Melman, salah satu jurnalis keamanan dan intelijen terkemuka Israel, dilaporkan BBC.
Banyak dari para sandera adalah warga Israel. Namun terdapat juga sejumlah besar warga negara asing dan warga negara ganda, sehingga beberapa negara lain, termasuk Amerika Serikat, Perancis dan Inggris mempunyai kepentingan dalam operasi darat ini.
Menyelamatkan begitu banyak orang yang ditahan di berbagai wilayah di Gaza mungkin tidak dapat dilakukan oleh pasukan komando unit elit Israel, Sayeret Matkal. Hamas telah mengancam akan menembak sandera sebagai pencegah serangan Israel.
Pada 2011, Israel menukar lebih dari 1.000 tahanan untuk pembebasan seorang tentara, Gilad Shalit, yang ditahan oleh Hamas selama lima tahun. Namun Israel akan berpikir dua kali sebelum melepaskan tahanan secara besar-besaran, karena salah satu tahanan yang dibebaskan dalam pertukaran itu adalah Yahya Sinwar, yang merupakan pemimpin politik Hamas di Gaza.