REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) Azmi Syahputra mengkritik pedas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berpeluang membuat Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka menjadi Cawapres. Azmi mengibaratkan MK seperti pengendara motor yang salah belok.
"Putusan MK kali ini unik banyak pihak yang serasa kena prank seolah MK ini pengendara sepeda motor kasih lampu sein kiri namun beloknya ke kanan," kata Azmi kepada Republika, Selasa (17/10/2023).
Azmi menegaskan putusan MK ini sifatnya tidak bisa jadi rujukan. Sebab ada kontradiksi antar putusan sebelumnya atas objek gugatan yang sama. Apalagi mengingat putusan ini berbentuk konsititusional bersyarat yang disertai Dissenting Opinion hakim dalam kekuatan yang hampir seimbang yaitu 5 hakim MK pro vs 4 kontra putusan tersebut.
"Putusan ini tidak bisa lagi dilihat lagi secara normatif semata karena banyak asas-asas atau hal yang selama ini dianggap prinsipil kini lebih dilonggarkan," ujar Azmi.
Azmi menyebut makna putusan MK baru benar-benar terlihat saat pendaftaran Capres-Cawapres mulai pekan ini. Bila akibat putusan ini Gibran maju menjadi Cawapres, maka publik bisa menilai sendiri arah putusan MK.
"Lihat saja faktanya saat pendaftaran capres dan cawapres kemana arah tiupan tujuan putusan MK ini, kepentingan hukum siapakah yang akan dilindungi," ujar Azmi.
Azmi juga mengingatkan putusan ini akan menciptakan akibat panjang terhadap penerapan hukum batasan umur dan sistem demokrasi pencalonan paket Presiden-Wapres.
"Inilah putusan MK yang monumental dan dominan keanehannya, sekalipun sifatnya final dan mengikat," ucap Azmi.
Sebelumnya, MK memutus tujuh perkara uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Senin (16/10/2023).
Enam gugatan ditolak. Tapi MK memutuskan mengabulkan sebagian satu gugatan yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Perkara itu masuk ke MK dengan nomor 90/PUU-XXI/2023.
"Mengadili mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK pada Senin (16/10/2023).
MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menyatakan "berusia paling rendah 40 tahun" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Sehingga pasal 169 huruf q selengkapnya berbunyi 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'," ujar Anwar.