REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Organisasi World Wildlife Fund (WWF) melaporkan bahwa ekosistem air dan air tawar di dunia menghadapi ancaman krisis global yang mengancam kesehatan manusia dan planet bumi. Laporan ini juga harus menjadi alarm serius, karena nilai ekonomi tahunan air dan air tawar diperkirakan mencapai 58 triliun dolar AS atau setara dengan 60 persen Produk Domestik Bruto (PDB) dunia.
Sejak tahun 1970, dunia telah kehilangan sepertiga dari lahan basah yang tersisa, sementara populasi air tawar rata-rata turun sebesar 83 persen. Tren bencana ini telah berkontribusi pada meningkatnya jumlah orang yang menghadapi krisis air dan kerawanan pangan, karena sungai dan danau menghadapi kekeringan dan banjir yang ekstrem, polusi meningkat, serta sumber makanan seperti perikanan air tawar menurun.
WWF Global Freshwater Lead, Stuart Orr, mengatakan bahwa krisis air dapat memperburuk tekanan ekonomi. Selain itu, juga melemahkan upaya global dalam memulihkan kerusakan alam dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim yang semakin parah, mulai dari kekeringan dan banjir ekstrem hingga kenaikan permukaan laut.
"Air dan ekosistem air tawar tidak hanya penting bagi perekonomian kita, tetapi juga merupakan sumber kehidupan bagi planet dan masa depan kita. Kita harus ingat bahwa air tidak berasal dari keran -air berasal dari alam. Air untuk semua bergantung pada ekosistem air tawar yang sehat,” kata Orr seperti dilansir dari laman WWF, Selasa (17/10/2023).
Wakil Direktur Program Air Tawar di WWF, Michele Thieme, menambahkan bahwa sungai, danau, lahan basah, dan akuifer air tanah telah mengalami degradasi yang parah akibat eksploitasi yang berlebihan, polusi, dan kekeringan. Sepertiga dari lahan basah yang tersisa di planet ini telah hilang akibat pembangunan manusia sejak tahun 1970, dan populasi satwa liar air tawar telah menurun hingga 83 persen.
Sebagai dampaknya, semakin banyak orang termasuk 40 juta orang Amerika yang bergantung pada Sungai Colorado, menghadapi kekurangan air dan kerawanan pangan.
Karena planet ini terus memanas, ada kebutuhan mendesak untuk mempercepat dan memperluas upaya pengelolaan, guna mengurangi dampak perubahan iklim serta beradaptasi dengan realitas baru. Mulai dari mengatasi masalah kehilangan air di saluran irigasi, mengubah kebutuhan air kota, hingga mempertahankan debit minimum.
"Ada banyak sekali pilihan, tetapi sekaranglah saatnya untuk benar-benar berinvestasi dalam jenis-jenis tindakan tersebut,” kata dia.
Thieme mengatakan bahwa pemerintah memiliki peran krusial dalam pengelolaan, regulasi, dan investasi terkait ketahanan air. Perusahaan dan bisnis juga perlu memastikan bahwa penggunaan air dan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan berada dalam batas-batas yang berkelanjutan. Begitupun masyarakat secara umum juga dapat berperan serta.
"Tindakan kecil seperti menanam vegetasi asli di lahan sendiri, memasang pipa hemat air di rumah tangga, serta mendukung kebijakan dan pemimpin yang mengadvokasi pengelolaan air yang berkelanjutan,” ungkap Thieme.