Rabu 18 Oct 2023 13:24 WIB

Muslim Amerika Khawatir Kejahatan Rasial Meningkat Menyusul Perang Israel-Hamas

Seorang bocah Palestina ditusuk di AS.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Hafil
Muslim Amerika Khawatir Kejahatan Rasial Meningkat Menyusul Perang Israel-Hamas. Foto:   Islamofobia (ilustrasi)
Foto: Bosh Fawstin
Muslim Amerika Khawatir Kejahatan Rasial Meningkat Menyusul Perang Israel-Hamas. Foto: Islamofobia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,NEW YORK -- Seminggu setelah dimulainya perang Israel-Hamas, seorang anak laki-laki berusia enam tahun di AS dibunuh tetangganya sendiri. Menurut pihak berwenang, hal ini merupakan kejahatan rasial yang ditargetkan, sebagai reaksi terhadap konflik tersebut.

Kondisi tersebut lantas membuat banyak Muslim dan Arab Amerika khawatir akan konflik ini. Mereka resah, apa yang terjadi di Timur Tengah dapat memicu peningkatan kejahatan rasial terhadap mereka.

Baca Juga

Bocah bernama Wadea Al-Fayoume ini terbunuh dengan cara ditikam sebanyak 26 kali. Bukan hanya dia, ibunya yang berusia 32 tahun bernama Hanaan Shahin, juga ditikam lebih dari belasan kali di dalam rumah mereka di wilayah Chicago. Keduanya adalah orang Amerika keturunan Palestina.

Para petugas di Kantor Sheriff Will County mengatakan tuan tanah mereka yang berusia 71 tahun, Joseph M. Czuba, diduga menargetkan mereka karena beragama Islam. Di saat yang bersamaan, konflik Timur Tengah yang melibatkan Hamas dan Israel sedang berlangsung.

Czuba telah dimunculkan di pengadilan untuk pertama kalinya pada Senin (16/10/2023), untuk sidang penahanan. Tuduhan yang dikenakan padanya mencakup pembunuhan tingkat pertama, serta dua tuduhan kejahatan rasial.

Kematian akibat penikaman di Plainfield Township, sebuah kota berpenduduk 34.000 jiwa tersebut, dengan cepat bergema di seluruh negeri. Kondisi ini mengingatkan banyak Muslim dan Arab Amerika pada hari-hari setelah 9/11.

“Hanya ada dua kali dalam hidup saya ketika ibu saya menelepon dan mengatakan kepada saya ‘hati-hati’ di Amerika. Itu terjadi beberapa hari setelah 9/11 dan kemarin,” kata seorang warga Palestina-Amerika dan komedian Amer Zhar, dikutip di /ABC News//, Rabu (18/10/2023).

Dia khawatir apa yang dituduhkan oleh pihak berwenang bukanlah sebuah skenario "serigala tunggal" (lone wolf) yang diberi label oleh beberapa orang, namun sebuah produk lingkungan yang disebarkan secara politik dan media selama seminggu terakhir.

“Semua orang tampaknya memperlakukan ini seperti sejarah dunia dimulai pada hari Sabtu. Jadi, meski kami takut sekarang, kami benar-benar takut dengan apa yang akan terjadi di masa depan," lanjut dia.

Ia menyebut ketika seseorang dapat merendahkan martabat orang lain dengan cara seperti ini dan dengan begitu sederhana, siapa yang tahu apa yang bisa dilakukan di kemudian hari dan membenarkannya di mata dunia.

"Saya merasa harus lebih berhati-hati dengan lingkungan tempat beraktivitas dalam seminggu terakhir," ujar Zhar.

Bagi Muslim yang lain, mereka mengatakan dampak perang di Israel dan Gaza telah memaksa mereka menghadapi kemungkinan perubahan, utamanya dalam cara mengidentifikasi agama mereka. Seorang mualaf yang tinggal di West Virginia, Morgan Fowler, mengatakan dia mulai mengenakan jilbab yang tidak pernah populer dan selalu terasa sedikit menakutkan.

Namun sejak perang ini dimulai, Fowler mengatakan rekan-rekannya kerap mengantarnya ke mobil sepulang kerja untuk berjaga-jaga. Dia juga mengatakan keadaannya semakin berubah setelah kematian Wadea.

Fowler lantas melakukan diskusi dengan ulama yang membantunya masuk Islam tiga tahun lalu tentang navigasi selama konflik Israel-Hamas saat ini. Ia mendapat saran agar melepas jilbabnya, demi keselamatan diri sendiri dan putrinya yang masih kecil.

"Aku belum melepasnya, tapi terlintas dalam pikiranku. Alasan mengapa aku benar-benar mempertimbangkannya adalah karena aku seorang ibu," kata dia.

Berita yang terkait tentang Wadea, korban yang berusia 6 tahun, disebut mengubah cara dia berpikir tentang anaknya yang berusia 9 tahun. Kondisi saat ini membuat ia berpikir ada kemungkinan anaknya menghadapi beberapa jenis kekerasan.

Beralih di new York City, salah satu tempat paling beragam di dunia, para pemimpin Muslim mengatakan mereka merasa takut dan khawatir terhadap kekerasan.

Anggota Majelis New York Zohran Mamdani, seorang Muslim, berkata ia dan sejumlah teman maupun kolega sempat mengobrol melalui sambungan telpon. Di kesempatan itu, tidak sedikit yang menangis dan merasa patah hati.

“Ini mengingatkan kami pada bulan-bulan setelah 9/11,” kata Mamdani. Dia pun mengutip insiden di Bay Ridge, Williamsburg dan Queens pada minggu lalu. Ia mendengar tentang seorang Muslim yang tidak diberi tempat tinggal oleh tuan tanah, dengan tidak ingin ada teroris dalam daftar penyewanya.

Jumat lalu, ia sempat ditangkap ketika melakukan pawai bersama warga Yahudi New York, yang memimpin pawai ke rumah Senator Chuck Schumer sambil meminta gencatan senjata di Gaza. Beberapa hari terakhir, hidupnya diramaikan dengan pesan suara dengan ancaman pembunuhan.

Salah satunya pesan suara ini menyerukan kematian seluruh umat Islam, serta harapan agar anak pertamanya menderita kanker otak dan meninggal karena kondisi tersebut.

Minggu lalu, seorang wanita Muslim berhijab yang ingin dikenal sebagai S.G. mengatakan, dia khawatir akan kondisi anggota keluarganya yang bekerja di perusahaan. Hal ini mengingat pengalaman buruknya selama penerbangan dari Tampa ke Washington D.C..

Dalam penerbangan yang berlangsung satu hari setelah perang Hamas dan Israel pecah, seorang pria yang duduk satu baris di depannya melakukan tindakan aneh. Orang tersebut duduk dalam posisi berbalik, menghadapnya selama penerbangan yang memakan waktu satu setengah jam penuh.

“Dia tidak memutuskan kontak mata sama sekali selama penerbangan,” kata S.G. Dia mengatakan awak pesawat juga mengetahui situasi tersebut, lantas menghampiri S.G. dan bertanya apakah dia mengenal pria tersebut.

Pramugara yang bertugas tampak khawatir, mengetahui bahwa pria itu terus memperhatikan setiap gerak-gerik S.G. Krew pesawat itu bahkan berkata pada S.G. bahwa ia memiliki dua anak perempuan, sehingga merasa simpati dengan kondisinya.

Setelah pesawat mendarat, pramugara tersebut mengarahkan pihak berwenang di darat untuk berbicara dengan pria tersebut. Perwakilan United Airlines mengonfirmasi bahwa insiden ini benar terjadi.

“Ini hampir seperti mikrokosmos, dari apa yang terjadi dalam skala yang lebih besar. Semua orang seolah menatap, menunggu tetangga Muslim atau seseorang mengatakan sesuatu yang pro-Palestina atau sekadar menghormati nyawa yang hilang. Orang-orang takut dan sejujurnya, ini benar-benar memilukan," ujar S.G.  

Sumber:

https://abcnews.go.com/US/amid-israel-hamas-war-muslim-arab-americans-fear/story?id=104004758

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement