Rabu 18 Oct 2023 20:59 WIB

Ancaman Krisis Pangan, BMKG Tingkatkan Literasi Iklim

Literasi iklim diberikan melalui Sekolah Lapangan Iklim.

BMKG memitigasi ancaman krisis pangan akibat perubahan iklim melalui literasi iklim.
Foto: www.freepik.com
BMKG memitigasi ancaman krisis pangan akibat perubahan iklim melalui literasi iklim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memitigasi ancaman krisis pangan akibat perubahan iklim dengan cara meningkatkan literasi iklim di kalangan petani melalui Sekolah Lapang Iklim. "Guna memitigasi ancaman krisis pangan, BMKG terus melakukan literasi iklim melalui Sekolah Lapang Iklim," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (18/10/2023).

Dwikorita mengatakan bahwa sasaran dari Sekolah Lapang Iklim (SLI) yang bergulir sejak 27 September 2023 adalah para petani Indonesia yang dilatih kemampuan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di wilayahnya. Salah satu metode edukasi, kata Dwikorita, adalah penyertaan teknologi dalam penggunaan pranoto mongso atau kalender petani yang berisi informasi pelaksanaan tanam dan panen.

Baca Juga

Kalender itu berisi penyesuaian waktu tanam, jenis tanaman yang tepat dan waktu tanam, kapan harus menunda tanam, waktu memanen, pengelolaan air, mitigasi gagal panen, dan lain sebagainya.

"Dengan begitu, para petani bisa terhindar dari risiko terburuk berupa gagal panen akibat dampak cuaca ekstrem," katanya.

Kepala BMKG ini mengatakan bahwa sektor pertanian sangat berhubungan erat dengan keadaan cuaca dan iklim. Dampak buruk kejadian ekstrem dapat mengakibatkan penurunan produksi secara kuantitas maupun kualitasnya.

Melansir World Meteorolgical Organization (WMO), kata Dwikorita, 2023 menjadi tahun dengan rekor temperatur tertinggi, di antaranya adalah sepanjang Juni sampai dengan Agustus menjadi 3 bulan terpanas sepanjang sejarah serta gelombang panas (heatwave) terjadi di banyak tempat secara bersamaan.

BMKG mencatat situasi pada tahun 2016 menjadi tahun terpanas di Indonesia dengan nilai anomali sebesar 0.8 derakat celcius relatif terhadap periode klimatologi 1981 hingga 2020. Pada tahun 2020 menempati urutan kedua tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0.7 derajat celcius. Sebelumnya, pada tahun 2019 berada di peringkat ketiga dengan nilai anomali sebesar 0.6 derajat celcius.

Dampak perubahan iklim, kata Dwikorita, sudah sangat terasa di Indonesia. Akan tetapi, banyak dari masyarakat Indonesia yang tidak menyadari.

"Kondisi ini membutuhkan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim untuk mengurangi dampak bencana hidrometeorologi dan menurunkan emisi gas rumah kaca," katanya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement