Kamis 19 Oct 2023 05:45 WIB

Raja Yordania Tolak Kunjungan Sekutu Israel, Begini Pasang Surut Hubungan Yordania-Israel

Yordania menjadi negara Arab kedua yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
 Seorang pengunjuk rasa meneriakkan slogan yang mengecam Israel dan AS, saat protes menentang rencana Israel untuk mencaplok  bagian Tepi Barat Palestina, di dekat Kedutaan Besar AS,  Amman, Yordania.
Foto: EPA-EFE / ANDRE PAIN
Seorang pengunjuk rasa meneriakkan slogan yang mengecam Israel dan AS, saat protes menentang rencana Israel untuk mencaplok bagian Tepi Barat Palestina, di dekat Kedutaan Besar AS, Amman, Yordania.

REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN -- Yordania dan Israel secara resmi menghabiskan waktu berpuluh-puluh tahun dalam peperangan namun selalu menjaga kontak. Pada akhirnya kedua pihak menandatangani perjanjian damai pada 1994.

Namun hubungan Yordania dan Israel tetap tidak nyaman karena bayang-bayang perjuangan Palestina untuk mendapatkan kenegaraan dan keadilan masih membayangi perjanjian tersebut. Lebih dari 700.000 warga Palestina diusir secara etnis dari tanah leluhur mereka pada 1948 oleh milisi Yahudi dan pasukan Israel dalam peristiwa yang dikenal sebagai Nakba, atau “bencana” dalam bahasa Arab.

Baca Juga

Pada tahun yang sama, tak lama setelah PBB berencana membagi tanah Palestina di akhir mandat Inggris, koalisi militer negara-negara Arab termasuk Yordania memasuki wilayah tersebut untuk melawan Israel. Pada akhir perang, Yordania menguasai Yerusalem Timur dan Tepi Barat.

Dilansir Aljazirah, Rabu (18/10/2023) Yordania juga merupakan peserta penting dalam Perang Enam Hari pada 1967, setelah bersekutu dengan Presiden Mesir saat itu, Gamal Abdel Nasser. Pada akhir perang tersebut, yang menandai kemenangan besar bagi pasukan Israel, Yordania telah kehilangan kendali atas Yerusalem Timur dan Tepi Barat.

Yordania dan Israel, yang diyakini mempertahankan jalur belakang bahkan selama masa perang, menandatangani perjanjian damai pada 1994. Yordania menjadi negara Arab kedua setelah Mesir yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.

Perjanjian damai tersebut muncul tak lama setelah Perjanjian Oslo pada 1993, yang membentuk Otoritas Palestina. Israel dan Yordania juga menandatangani deklarasi di Gedung Putih yang mengikat mereka untuk mengakhiri permusuhan dan mencapai perdamaian abadi.

Kesepakatan damai tersebut meningkatkan kerja sama keamanan antara kedua negara dan membuka jalan bagi pembentukan proyek-proyek ekonomi yang ambisius. Zona Industri yang Memenuhi Syarat (Qualifying Industrial Zones) di Yordania mengizinkan negara tersebut mengekspor komoditas bebas bea ke Amerika Serikat (AS) jika mereka telah menentukan input dari Israel. Pengaturan ini kemudian berubah menjadi perjanjian perdagangan bebas antara Yordania dan Amerika.

Israel dan Yordania mencapai kesepakatan untuk mengatasi permasalahan air yang cukup besar, dan mengikat Israel untuk berbagi air. Pada 2014, mereka menandatangani kesepakatan gas dari ladang Israel untuk dipasok ke Yordania dalam jangka waktu 15 tahun.

Namun fakta masalah Palestina masih belum terselesaikan, ditambah dengan beberapa insiden penting selama bertahun-tahun, telah mempengaruhi hubungan kedua negara. Seorang tentara Yordania menembaki sekelompok siswi Israel pada 1997, dan menewaskan tujuh orang.

Pada tahun yang sama, agen Mossad yang dikirim ke Amman untuk membunuh pemimpin politik Hamas Khaled Mashal ditangkap. Yordania menuntut agar Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyerahkan obat penawar zat yang digunakan untuk meracuni Mashal. Netanyahu bersedia melakukannya setelah Presiden AS saat itu, Bill Clinton, melakukan intervensi langsung.

Pada 2017, seorang remaja Palestina berusia 17 tahun menikam seorang penjaga keamanan yang sedang tidak bertugas di Kedutaan Besar Israel di Yordania. Insiden ini menyebabkan penjaga keamanan tersebut menembakkan senjatanya yang membunuh remaja Palestina tersebut dan seorang pria lainnya. Kedutaan ditutup selama enam bulan dan Netanyahu memuji penjaga tersebut ketika dia kembali ke Israel.

Pada akhir 2019, Raja Yordania Abdullah II mengatakan hubungan dengan Israel berada pada titik terendah sepanjang masa. Sejak itu, hubungan keduanya tampak membaik.

Beberapa pertemuan tingkat tinggi telah dilakukan, termasuk kunjungan pertama presiden Israel ke Yordania tahun lalu. Namun perang Israel di Gaza yang sedang berlangsung saat ini bisa membalikkan tren tersebut.

Keluarga kerajaan Hashemite di Yordania, yang telah memerintah negara itu sejak tahun 1921, telah menjadi penjaga Masjid Al-Aqsa di Yerusalem selama hampir satu abad. Pada 1924, Dewan Muslim Tertinggi, yang merupakan badan tertinggi yang bertanggung jawab atas urusan komunitas Muslim di Palestina yang dikuasai Inggris pada saat itu, memilih seorang anggota dinasti Hashemite sebagai penjaga Masjid Al-Aqsa.

Masjid Al-Aqsa adalah salah satu situs paling suci umat Islam dan salah satu contoh arsitektur Islam tertua yang masih ada. Keluarga kerajaan Yordania telah beberapa kali merenovasi Al-Aqsa dalam satu abad terakhir.

Namun saat ini, Yordania juga menghadapi tantangan yang lebih praktis, seiring dengan semakin intensifnya perang Israel di Gaza. Yordania bergantung pada perjanjian airnya dengan Israel.

Hubungannya dengan Israel dan AS menjadi pendorong perekonomian negara tersebut, yang terpukul karena ketergantungannya pada pariwisata yang terpukul selama pandemi Covid-19. Namun Yordania tidak bisa membiarkan perang meningkat.

Yordania mengutuk pemboman Israel di Gaza dan keprihatinan kemanusiaan yang serius, sejalan dengan advokasi mereka untuk penyelesaian masalah Palestina. Sebagai tuan rumah bagi jutaan migran dari Palestina, Suriah dan Irak, Yordania juga sangat waspada terhadap gelombang baru pengungsi Palestina, yang secara historis diusir dari tanah air mereka oleh Israel. Yordania menegaskan, warga Palestina harus tetap tinggal di tanah air mereka jika ingin membentuk negara sendiri di masa depan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement