Jumat 20 Oct 2023 15:41 WIB

Safiyyah binti Hay, Wanita yang Berdaya Sepanjang Masa

Kemurnian keimanan Safiyyah binti Hay kepada Allah SWT terlihat jelas.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Hafil
 Safiyyah binti Hay, Wanita yang Berdaya Sepanjang Masa. Foto:  Sahabat nabi Muhammad dari kalangan wanita (ilustrasi).
Foto: Devianart.com
Safiyyah binti Hay, Wanita yang Berdaya Sepanjang Masa. Foto: Sahabat nabi Muhammad dari kalangan wanita (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketika berpikir tentang perempuan yang berdaya, seringkali yang tergambar adalah pakaian yang menunjukkan kekuasaan, atau membesarkan anak-anak sambil membangun karier yang menguntungkan. Di sisi lain, kualitas utama yang teprikirkan adalah memiliki pengetahuan dan tegas.

Bagaimanapun, ini adalah kualitas umum yang selayaknya dimiliki atau diperjuangkan semua wanita saat ini. Namun apakah kriteria dan gambaran tersebut hanya berlaku pada perempuan saat ini saja?

Baca Juga

Meskipun sulit dipercaya, perempuan seperti itu bukan semata-mata hasil dari masyarakat modern. Hal ini sudah ada sejak abad ke-14 Arab, pada masa Nabi Muhammad SAW dan dalam wujud istri-istrinya, atau disebut oleh umat Islam sebagai Ibunya orang-orang Mukmin.

Mereka hadir dengan mengenakan pakaian lengkap yang diperintahkan Alquran kepada mereka, serta siap untuk menghadapi Jazirah Arab dengan cara mereka yang halus, tetapi dinamis.

Begitulah kisah yang selayaknya menggambarkan Safiyah, istri kesembilan Nabi Muhammad SAW dan putri Huyay bin Akhtab dan Barah binti Shamwal. Wanita bangsawan keturunan Yahudi ini sempat menjadi seorang janda, serta kemudian menjadi tawanan perang selama Pertempuran Khaibar.

Setelah menerima lamaran pernikahan langsung dari Nabi Muhammad SAW, dia masuk Islam dan memulai hidup baru bersamanya pada usia tujuh belas tahun. Safiyah dikenal sangat spiritual dan menghabiskan sebagian besar waktunya membaca Alquran yang diyakini umat Islam sebagai firman Tuhan, bahkan menghafal banyak surah di dalamnya.

Dilansir di About Islam, Jumat (20/10/2023), pembelajarannya terhadap Alquran begitu intens, hingga matanya berkaca-kaca dan menangis. Dia bahkan merekomendasikan pembacaan Alquran yang emosional kepada semua orang yang beriman.

Kemurnian keimanannya kepada Allah SWT terlihat jelas dalam kesaksian suaminya sendiri, Rasulullah SAW. Sang suami pernah dikutip menyatakan pembelaan terhadap Safiyah, “Dia dengan setia masuk Islam dan menjadi seorang Muslim yang baik.”

Sebagai seorang individu, Safiyah mewakili kualitas-kualitas yang pada masa sekarang dapat dengan mudah didefinisikan sebagai contoh yang baik dalam pemberdayaan perempuan. Yang paling menonjol adalah tingkat pengetahuannya, ketegasannya, serta bagaimana dia menggunakan satu hal untuk memperkuat yang lain.

Fakta bahwa Safiyah memiliki pengetahuan khusus di bidang Islam terlihat dari kegemarannya membaca Alquran. Dalam kasusnya, ia juga sangat terpuji karena tidak membatasi diri hanya pada pembacaan ayat-ayat Alquran secara ritual, tetapi juga menerapkannya secara praktis di keseharian.

Selain menghafal surah-surah Alquran dan menangis mendengar kata-kata dan ayat-ayatnya, ia juga menggunakan firman Allah Yang Maha Kuasa sebagai landasan untuk memahami dan menafsirkan agama, untuk dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Basis pengetahuan Islam yang sangat kuat inilah yang memberinya kepercayaan diri untuk bersikap tegas dalam sejumlah bidang kehidupannya. Hal ini berlaku saat ia menuntut perlakuan yang adil, membela praktik Islam, memiliki harta benda, atau bahkan di kemudian hari saat berpartisipasi dalam perang dan politik.

Sifat shalehahnya juga terlihat jelas ketika Umar ibn Al-Khattab memberikan dua belas ribu dirham (mata uang pada masa itu) kepada setiap istri Nabi, sebagai bagian dari rampasan yang diterima dari penaklukan Muslim saat itu. Setiap istri mendapat jumlah yang sama, kecuali Shafiyah dan Juwayriyah yang keduanya hanya diberi uang enam ribu dirham.

Umar membela dirinya, dengan menyatakan bahwa istri-istri lainnya menerima jumlah tersebut karena mereka telah hijrah dari Makkah ke Madinah. Namun, baik Safiyah maupun Juwayriyah keberatan dengan hal tersebut bahkan menolak menerima uang tersebut.

Mereka membantah argumen Umar dan menyatakan bahwa orang lain menerima jumlah standar tersebut karena mereka adalah istri Nabi Muhammad. Safiyah dan Juwayriyah menegaskan, karena mereka memiliki status yang sama, maka mereka berhak mendapatkan perlakuan yang sama. Atas pernyataan ini, Umar membatalkan keputusannya dan memberikan mereka jumlah yang sah.

Apa yang paling mengesankan dari kejadian ini adalah bahwa Nabi Muhammad SAW sendiri bahkan tidak ada di sana untuk membantu Safiyah dalam menuntut hak-haknya. Cerita tersebut terjadi setelah kematian Rasul.

Pengetahuannya tentang Islam dan hak-haknya mendukung Shafiyah untuk bersikap tegas dan memastikan bahwa ia menerima perlakuan yang adil, baik di hadapan atau tanpa suami tercinta.

Semasa hidupnya, ia seringkali menjadi sasaran tuduhan karena garis keturunan Yahudinya. Namun, Shafiyah terus menggunakan pemahamannya tentang Islam tidak hanya untuk mempertahankan imannya kepada Allah ketika diperlukan, tetapi juga untuk menyeimbangkannya dengan hak-hak warisannya.

Ada suatu kejadian ketika pembantunya pergi dan memberitahu Khalifah Umar bahwa meskipun Shafiyah masuk Islam, dia tetap menjalankan Sabat hari Sabtu dan menjaga hubungan baik dengan orang-orang Yahudi. Alhasil, Khalifah mempertanyakan Safiyah terkait tuduhan tersebut.

Sekali lagi, berdasarkan ilmunya, dia menjawab bahwa setelah Allah SWT memberi tahu umat Islam tentang kesucian dan keberkahan hari Jumat, dia tidak lagi menganggap penting hari Sabtu. Ia juga menyebut tetap menjaga hubungan dengan orang-orang Yahudi yang merupakan kerabatnya, dengan alasan menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya untuk menjaga hubungan baik dengan keluarga.

Contoh-contoh ini menyoroti bagaimana Shafiyah memanfaatkan sepenuhnya karunia pengetahuan ilahi. Ia tidak hanya giat mencari ilmu Islam, tetapi juga menerapkannya secara luas di segala bidang kehidupan.

Pengetahuan ini, pada gilirannya, menjadi bahan bakar yang mengobarkan ketegasannya. Oleh karena itu, setiap kali dia menuntut haknya atau membela diri, dia mendukungnya dengan bukti kuat langsung dari Alquran dan ajaran Rasulullah SAW.

Sebagai seorang istri, dia memperlakukan pernikahannya sebagai sebuah kemitraan dan tidak takut untuk curhat kepada Nabi Muhammad SAW, maupun meminta nasihatnya bila diperlukan. Shafiyah tidak menganggap meminta nasihat suaminya sebagai sikap patuh atau cerminan kelemahannya. Sebaliknya, dia dengan cerdas memanfaatkan kekuatan yang dimilikinya dan memanfaatkannya jika relevan dan diperlukan dalam hidupnya.

Faktanya, kemampuannya untuk bercerita kepada suaminyalah yang memberinya kekuatan lebih besar dalam menghadapi kritik terhadap garis keturunan Yahudinya dengan tegas. Pada suatu saat dalam hidupnya, ketika Shafiyah merasa ejekan itu tak tertahankan, ia justru membawa masalah ini kepada Nabi Muhammad SAW.

Sambil menyeka air matanya, Nabi Muhammad memberi nasihat, “Bukankah lebih baik kamu berkata, 'Bagaimana mereka bisa lebih baik dari aku, padahal ayahku adalah Nabi Harun, pamanku adalah Nabi Musa dan suamiku adalah Nabi Muhammad'? ” (At-Tirmidzi) Respon cerdas ini memberikan dorongan luar biasa pada kemampuan Shafiyah dalam menghadapi tantangan tersebut dengan berani.

Adapun pengabdian Shafiyah terhadap kesejahteraan Nabi terus berlanjut hingga saat-saat terakhir hidupnya. Melihat Nabi berada di ranjang kematiannya, Shafiyah berseru dengan sedih: “Wahai Nabi Allah, aku sungguh berharap penderitaan yang kamu alami ada pada diriku, bukan pada kamu!”

Bahkan ketika orang lain tetap skeptis terhadap ucapannya, Nabi Muhammad SAW membelanya tanpa ragu atau ragu. Ia berkata, “Demi Allah, aku tahu bahwa Shafiyah adalah orang yang setia dan jujur, dan dia bersungguh-sungguh dengan apa yang baru saja dia katakan.” (Ibnu Sa'd 8/128; Ibnu Hajar 7/741)

Fakta bahwa Nabi secara konsisten mampu memberikan kesaksian tentang kesetiaan Shafiyah menunjukkan kredibilitasnya sebagai seorang istri. Di masa sekarang, perempuan sering kali harus meyakinkan atau bahkan memaksa suaminya untuk memihak, ketika menyangkut masalah kontroversial dengan mertua atau pihak ketiga lainnya seputar pernikahan.

Namun bagi Shafiyah, suaminya terus membela dirinya, meski tanpa ada permintaan dari pihak Safiyah. Karakternya yang bermartabat dan jujur merupakan kesaksian yang cukup bahwa dia tidak hanya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi juga mempersonifikasikan imannya melalui perannya sebagai istri yang berbakti kepada Nabi Muhammad.  

Sumber:

https://aboutislam.net/reading-islam/about-muhammad/lady-safiyyah-an-empowered-woman-for-all-times/

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement