REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) saat ini memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi enam persen. Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede menilai keputusan BI tersebut untuk membuat rupiah stabil.
"BI secara tidak terduga menaikkan suku bunga kebijakan menjadi enam persen, kami memperkirakan bahwa dalam jangka pendek rupiah akan lebih stabil," kata Josua, Jumat (20/10/2023).
Dia menjelaskan, hal tersebut terutama karena kesenjangan suku bunga tetap positif. Hal itu dengan asumsi suku bunga kebijakan The Fed mencapai puncaknya pada 5,75 persen.
Sementara itu, Josua juga memperkirakan BI juga akan mengambil kebijakan yang lebih tinggi.
"Ini khususnya untuk jangka waktu yang lebih lama pada 2024 dan mulai menurunkan suku bunga pada kuartal IV 2024," jelas Josua.
Setelah BI menaikan suku bunga acuan menjadi enam persen, suku bunga deposit facility naik 25 bps menjadi 5,25 persen. Selain itu, suku bunga lending facility juga naik menjadi 6,75 persen. Perry mengungkapkan ada lima dinamika yang membuat BI perlu menyikapinya dengan mengubah arah kebijakan.
"Dinamika global sangat cepat dan tidak bisa diprediksi. RDG bulan lalu kami sampaikan dengan informasi terbaru pada saat itu tapi kemudian perubahan cepat," kata Perry dalam konferensi pers RDG Bulanan BI Oktober 2023, Kamis (16/10/2023).
Perry menjelaskan yang pertama yaitu pertumbuhan ekonomi global akan melambat dengan divergensi pertumbuhan antar negara yang melebar. Dia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini sebesar 2,9 persen dan tahun depan hanya 2,8 persen dengan balance of risk akan lebih rendah dari 2,8 persen.
Sementara itu, Perry menyebut divergensi AS sementara pada tahun ini masih kuat tapi juga akan melambat tahun depan. Lalu China saat ini sudah melambat dan juga akan terus melambat.
"Nah ini yang kemudian dalam dua tahun ke depan pada 2024 dan 2025, pertumbuhan ekonomi akan melambat. Tahun depan divergensi sumber pertumbuhan masih melebar tapi baru menyempit 2025 dan baru kemudian pada 2026 kemungkinan akan stabil," jelas Perry.
Untuk itu, dia mengatakan pada 2024 masih diliputi ketidakpastian mengenai pertumbuhan ekonomi global yang akan cenderung melambat. Perry menilai, seluruh dunia memang harus mendorong permintaan domestik supaya pertumbuhan ekonomi masih tinggi.
Lalu yang kedua yaitu tensi ketegangan geopolitik saat ini juga meningkat. "Ketegangan geopolitik ini menyebabkan harga minyak sudah naik, harga pangan tetap tinggi, dan karenanya akan memperlambat penurunan inflasi global," ucap Perry.
Selanjutnya yang ketiga adalah suku bunga di negara maju termasuk Fed Funds Rate (FFR) masih akan higher for longer. Perry menegaskan, BI menakar ada probabilitas sekitar 40 persen FFR akan naik pada Desember 2023 dan ketidakpastian tinggi.
"Tapi meskipun naik atau tidak naik (FFR) itu masih akan tetap tinggi khususnya di paruh pertama tahun depan. Baru akan mulai turun pada paruh kedua tahun depan itu FFR nya," tutur Perry.
Lalu yang keempat yaitu kenaikan suku bunga global tidak hanya dalam jangka pendek. Perry mengatakan, suku bunga yield US treasury saat ini sekitar 5,2 persen yang 10 tahun lalu hanya 4,6 persen.
Terakhir yakni dinamika global yang berkaitan dengan implikasi naiknya suku bunga yield US treasury. Hal itu berdampak kepada aliran modal dari negara emerging market.
"Aliran modal dari negara emerging market yang sudah mulai stabil bahkan sudah mulai masuk ke Indonesia dan negara emerging market itu kembali lagi ke cash is the king. Banyak kemudian pindah ke negara maju dan juga memperkuat dolar AS," ucap Perry. Rahayu Subekti