Jumat 20 Oct 2023 21:09 WIB

Fenomena El Nino Dapat Memperparah Kemiskinan di Indonesia

Sebanyak 3,46 juta keluarga di 3.281 desa mengalami kerawanan kekeringan.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy.
Foto: Republika.co.id
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy.

REPUBLIKA.CO.ID, KENDARI -- Fenomena El Nino yang terjadi saat ini melanda banyak negara, perlu terus dicermati bersama. Tujuannya agar dampak burunknya tidak meluas ke berbagai sektor yang sedang mengalami tren pertumbuhan baik di Indonesia.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy menjelaskan, sebanyak 3,46 juta keluarga di 3.281 desa di Indonesia berpotensi tinggi mengalami kerawanan kekeringan akibat El Nino. Sebanyak 8,84 persen keluarga dari jumlah tersebut tergolong keluarga di desil satu atau miskin ekstrem.

Apabila tidak ada langkah pengurangan risiko bencana yang tepat, sambung dia, El Nino dapat memperparah kemiskinan dan menurunkan ketahanan masyarakat terhadap bencana. "Potensi bencana ini kalau tidak kita kelola dengan baik akan mengakibatkan risiko bencana yang besar," ujar Muhadjir di Kota Kendari dikutip pada Jumat (20/10/2023).

El Nino merupakan bencana hidrometeorologi atau bencana yang diakibatkan oleh iklim. El Nino berpotensi memicu bencana kekeringan yang parah, karhutla, dan kelaparan serta memiliki efek domino pada kesejahteraan masyarakat. Diprediksi wilayah Indonesia yang berpotensi mengalami kekeringan mencakup, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Papua, serta sebagian Pulau Jawa dan Bali.

Berdasarkan hasil koordinasi yang telah dilakukan, Muhadjir yakin, jajaran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) akan dapat mengantisipasi dampak yang terjadi akibat bencana tersebut. Terlebih, kolaborasi telah dengan berbagai pihak dan modernisasi penggunaan teknologi canggih yang dimiliki dapat membantu melaksanakan proses mitigasi dengan baik.

Selain itu, pemerintah juga telah berupaya merubah paradigma penanggulangan bencana dari responsif menjadi pengendalian risiko. Pengendalian risiko itu diwujudkan dengan memaksimalkan kapasitas, mengurangi kerentanan, serta mengeliminasi bahaya.

Muhadjir turut berpesan kepada seluruh jajaran pemerintah daerah, khususnya wilayah Sulawesi Tenggara yang menjadi lokasi penyelenggaraan peringatan bulan bencana tahun ini, untuk dapat mencegah terjadinya kerusakan alam dan bencana. Hal itu biasanya terjadi akibat eksploitasi alam yang dilakukan.

“Upaya eksploitasi alam harus dilakukan secara bijak dan mengedepankan keberlangsungan alam itu sendiri dan masyarakat sekitarnya. Jangan sampai ketika sudah mendapatkan keuntungan besar, lalu meninggalkan bencana,” ucap Muhadjir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement