Sabtu 21 Oct 2023 19:11 WIB

Suku Bunga Naik, Daya Beli Masyarakat Berpotensi Turun

Kenaikan suku bunga BI juga dapat berdampak positif pada inflasi.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Lida Puspaningtyas
Pedagang melayani pembeli di Pasar Cisalak, Depok, Jawa Barat, Jumat (30/6/2023). Pasar Cisalak menjadi salah satu dari 14 pasar di Jawa Barat yang telah memiliki status Standar Nasional Indonesia (SNI) melalui program pasar juara guna meningkatkan kualitas pasar dan daya beli masyarakat.
Foto: Antara/Asprilla Dwi Adha
Pedagang melayani pembeli di Pasar Cisalak, Depok, Jawa Barat, Jumat (30/6/2023). Pasar Cisalak menjadi salah satu dari 14 pasar di Jawa Barat yang telah memiliki status Standar Nasional Indonesia (SNI) melalui program pasar juara guna meningkatkan kualitas pasar dan daya beli masyarakat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikan suku bunga acuan menjadi enam persen. Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai kenaikkan suku bunga acuan Bank Indonesia memiliki dampak yang signifikan terhadap perekonomian, terutama dalam konteks konsumsi dan inflasi.

"Sisi permintaan masyarakat akan terpengaruh oleh kenaikan suku bunga, mengingat bahwa hal ini membuat pinjaman menjadi lebih mahal. Akibatnya, daya beli masyarakat kemungkinan akan menurun," kata Yusuf kepada Republika.co.id, Sabtu (21/10/2023).

Dia menjelaskan, setelah suku bunga acuan naik membuat masyarakat cenderung lebih berhati-hati. Khususnya dalam mengambil pinjaman yang pada gilirannya mengurangi pengeluaran mereka untuk berbagai keperluan. Sementara itu, sisi penawaran juga terdampak oleh kenaikan suku bunga.

"Kenaikan ini akan mendorong biaya produksi perusahaan menjadi lebih tinggi, karena mereka harus membayar bunga yang lebih tinggi untuk pinjaman mereka. Sebagai akibatnya, perusahaan dapat mengalami penurunan keuntungan mereka," ungkap Yusuf.

Dengan begitu, Yusuf menuturkan secara teoritis kenaikan suku bunga Bank Indonesia memiliki dampak negatif terhadap konsumsi. Dia menegaskan, konsumsi masyarakat akan mengalami penurunan karena harga barang dan jasa cenderung naik akibat biaya produksi yang lebih tinggi yang salah satu alasannya karena mahalnya cost of fund.

Selain dampak pada konsumsi, Yusuf menyebut kenaikan suku bunga BI juga dapat berdampak positif pada inflasi. "Hal ini terjadi melalui penurunan permintaan agregat  yang dipicu oleh kenaikan suku bunga," ujar Yusuf.

Dia menuturkan, kenaikkan suku bunga berpotensi membuat pinjaman lebih mahal. Kondisi tersebut tentunya juga berpotensi mengurangi pengeluaran masyarakat secara keseluruhan.

Yusuf mengungkapkan, dampak tersebut dapat membantu mengendalikan tekanan inflasi karena permintaan yang lebih rendah dapat mengurangi dorongan harga barang dan jasa. "Sehingga, kenaikkan suku bunga BI dapat digunakan sebagai alat kebijakan untuk mengatur tingkat inflasi dalam perekonomian," jelas Yusuf.

Sebelumnya, BI mengungkapkan ekonomi global masih mengalami perlambatan selain itu kondisi geopolitik juga memanas. Mengatasi hal tersebut BI pada hari ini (19/10/2023) memutuskan untuk menaikan suku bunga acuan.

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 18 dan 19 Oktober 2023, memutuskan untuk menaikan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi enam persen," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers RDG Bulanan BI Oktober, Kamis (24/8/2023).

Dia menambahkan, suku bunga deposit facility juga naik 25 bps menjadi 5,25 persen. Lalu juga suku bunga lending facility juga masih tetap sebesar 6,75 persen.

"Kenaikan ini untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah dari meningkatnya ketidakpastian global sehingga inflasi tetap terkendali," ungkap Perry.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement