Sabtu 21 Oct 2023 23:34 WIB

61st Annual Session of AALCO Dorong Perdagangan Pro-Negara Berkembang

Indonesia selama ini berpartisipasi aktif dalam negosiasi.

61st Annual Session of AALCO di Bali membahas terkait Hukum Perdagangan dan Investasi Internasional.
Foto: Dok. Web
61st Annual Session of AALCO di Bali membahas terkait Hukum Perdagangan dan Investasi Internasional.

REPUBLIKA.CO.ID, BALI –  Salah satu agenda penting yang dibahas pada kegiatan 61st Annual Session of AALCO di Bali adalah terkait Hukum Perdagangan dan Investasi Internasional. Beberapa isu yang dibahas dalam agenda ini, antara lain isu-isu perdagangan internasional yang akan menjadi topik diskusi pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO ke-13 seperti reformasi WTO dan subsidi perikanan.

Terkait isu reformasi WTO, Indonesia selama ini berpartisipasi aktif dalam negosiasi mengenai sistem penyelesaian sengketa WTO, khususnya untuk mempertahankan sistem penyelesaian sengketa dua tingkat, termasuk mempertahankan standing body yang mengkaji upaya banding. Indonesia berpandangan bahwa sistem penyelesaian sengketa dua tahap pada WTO berperan penting untuk stabilitas dan prediktabilitas perdagangan multilateral, serta memenuhi kebutuhan untuk mencegah kebuntuan penyelesaian sengketa. Indonesia mendukung upaya-upaya reformasi WTO dan menekankan pentingnya agar proses dan pelaksanaan diskusi reformasi WTO dilakukan secara inklusif, transparan dan terbuka untuk semua anggota.

Baca Juga

"Mengenai WTO Agreement on Fisheries Subsidies sebagai hasil KTM WTO ke-12, Indonesia menekankan pentingnya perjanjian yang komprehensif yang mencakup Special and Differential Treatment yang tepat dan efektif bagi negara-negara berkembang, sesuai mandat Sustainable Development Goals,” kata perwakilan Delegasi Indonesia dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Sabtu (21/10/2023). 

Delegasi Indonesia juga menyatakan dukungan penuh melalui partisipasi Indonesia selama ini dalam Working Group III of the United Nations Commission on International Trade Law mengenai reformasi penyelesaian sengketa antara investor dan negara atau Investor-State Dispute Settlement Reform (ISDS Reform). Salah satu hal yang dibahas dalam Working Group III adalah terkait pembentukan advisory centre on international investment law.  

Advisory center ini nantinya akan memberikan bantuan teknis dan peningkatan kapasitas mengenai hukum investasi internasional dan penyelesaian sengketa antara investor dan negara (ISDS). Selain itu, advisory centre ini diharapkan juga dapat memberikan dukungan dan nasihat hukum sehubungan dengan proses ISDS, termasuk layanan pendampingan hukum.  

“Indonesia mendorong negara-negara Asia-Afrika untuk mendukung pembentukan advisory centre ini karena dapat membantu negara-negara berkembang untuk meningkatkan kapasitas dalam menghadapi ISDS. Indonesia percaya bahwa hal ini dapat menjadi langkah penting menuju pencapaian hasil yang adil dalam sengketa investasi internasional,” ujar perwakilan delegasi Indonesia.

Delegasi Indonesia juga menekankan pentingnya negara-negara berkembang untuk mengkaji lebih dalam terkait pembentukan permanent body atau multilateral investment court system, khususnya mengenai insentif kemudahan gugatan oleh investor dan dampaknya terhadap negara. “Indonesia akan terus mendorong solusi yang dapat menyimbangkan antara hak dan kewajiban negara dan investor dalam upaya ISDS Reform,” ujarnya.

Pada sesi 5th General Meeting hari ini, delegasi Indonesia yang diwakili oleh Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Cahyo R. Muzhar, kembali menekankan pentingnya menghadapi isu illegal fishing secara komprehensif. Illegal fishing adalah masalah yang menjadi perhatian dunia karena memiliki dampak ekonomi dan lingkungan yang signifikan. Perdagangan hasil tangkapan ikan dari kegiatan illegal fishing diperkirakan mencapai hingga US$23,5 miliar per tahun. 

Bahkan, kerugian ekonomi secara keseluruhan dari penangkapan ikan secara ilegal diperkiran mencapai US$50 miliar. Aktivitas illegal fishing  juga membuat jumlah stok ikan di dunia berkurang secara signifikan dari 90% pada 1974 menjadi 64,6% pada 2019. Hal ini menjadi ancaman serius bagi ketahanan pangan global di masa depan.

Penangkapan ikan secara ilegal juga menimbulkan masalah serius lainnya seperti perdagangan manusia, perbudakan modern, dan pencucian uang. Pada tahun 2020, diperkirakan 39% korban perdagangan manusia, per 100 ribu penduduk, menjadi korban kerja paksa, dan 28% diantaranya dipaksa bekerja di industri perikanan. Uang hasil illegal fishing biasanya disembunyikan melalui jaringan pencucian uang yang rumit. Hal menambah kompleksitas dalam upaya memerangi kejahatan finansial dunia.

“Semua hal di atas menekankan pentingnya strategi penanganan yang komprehensif yang tidak hanya melindungi ekosistem laut namun juga menjunjung tinggi hak asasi manusia, keamanan internasional, dan integritas keuangan, sehingga  menuntut komitmen dan upaya bersama  negara Asia dan Afrika. Oleh karena itu, dalam sidang ini, Indonesia mengajak negara-negara Asia dan Afrika untuk menyatukan pandangan dan menyatakan komitmen bersama untuk memerangi illegal fishing sebagai bagian dari kejahatan transnasional yang terorganisir,” kata Cahyo.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement