REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia saat ini tengah memasuki tahun politik menyusul pemilihan umum (Pemilu) 2024 nanti. Di momen ini, isu hubungan antara agama dan politik kembali mengudara.
Untuk membahas hal tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jakarta Selatan menggelar kegiatan Diskusi dan Analisis Fatwa Hubungan Agama dan Politik dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Hadil sebagai salah satu pembicara adalah Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat KH Abdul Muiz Ali.
"Banyak fatwa yang dikeluarkan MUI yang berkaitan dengan ketatanegaraan. Contohnya pada 2009, MUI mendorong masyarakat agar jangan golput. Ini untuk menjaga kepemimpinan dan tegaknya kepemimpinan di muka Bumi ini," ujar dia dalam kegiatan yang berlangsung di Aula Masjid Al-Hikmah, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Sabtu (21/10/2023).
Kiai Abdul Muiz lantas mengutip Imam Al Ghazali dalam kitabnya Al iqthisad Fi Al I’tiqad. Di sana, ia menyatakan bahwa agama dan kekuasaan adalah saudara kembar.
Agama digambarkan sebagai pondasi, sementara kekuasaan adalah penjaganya. Dengan demikian, segala sesuatu yang tidak memiliki pondasi niscaya akan runtuh atau rubuh, serta yang tidak memiliki penjaga maka lama kelamaan akan hilang atau musnah.
"Ketika berbicara kekuasaan, maka tidak lepas dari agama, dan ketika berbicara agama tidak lepas dari kekuasaan. Artinya, pemimpin yang tidak berdasar nilai luhur agama akan runtuh, sbgaimana yang tidak memiliki penjaga maka akan hilang," lanjut dia.
Selanjutnya, ia menyebut memilih seorang pemimpin berdasarkan agamanya adalah hal yang penting, bukan termasuk dalam politik identitas. Ia meminta semua pihak untuk membedakan antara politik identitas dan identitas politik.
"Politik identitas yang biasa menggunakan simbol-simbol atau ayat agama untuk politik praktis, itu rentan perpecahan. Tapi identitas politik atau memilih calon pemimpin atas kesamaan agama, kesamaan akidah dan nilai-nilai yang ia yakini itu tidak ada masalah," ujar Kiai Abdul Muiz.
Selanjutnya, ia menegaskan bahwa yang tidak boleh dilakukan dalam politik identitas adalah mengkafir-kafirkan orang atau mengurusi masalah keagamaan seseorang. Namun, jika memilih pemimpin berdasarkan identitas politiknya, hal ini tidak dipermasalahkan.
Terakhir, ia juga menyebut negara Indonesia dengan Pancasila sebagai ideologinya adalah hal yang final. Model negara ini tidak perlu dan tidak harus diubah lagi. Sebagaimana hal ini juga diamini oleh ulama-ulama zaman dulu.
"Ketika ada sosok calon pemimpin yang mencoba menawarkan model lain yang baru, silahkan buat negara lain, karena ini bertentangan dengan hukum ketata negaraan kita," kata Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat ini.