Ahad 22 Oct 2023 15:27 WIB

Menuju Akhir 2023, Investasi Saham Masih Menarik?

Saat ini jadi kesempatan yang baik bagi investor berinvestasi di pasar saham nasional

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Fuji Pratiwi
Pengunjung mengamati data saham melalui aplikasi IDX Mobile di dekat layar yang menampilkan indeks harga saham gabungan (IHSG) di kantor PT Bursa Efek Indonesia (BEI) di Jakarta, Kamis (24/8/2023).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pengunjung mengamati data saham melalui aplikasi IDX Mobile di dekat layar yang menampilkan indeks harga saham gabungan (IHSG) di kantor PT Bursa Efek Indonesia (BEI) di Jakarta, Kamis (24/8/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kinerja pasar saham sepanjang tahun berjalan cenderung mengalami pelemahan. Sejak awal 2023 hingga Jumat (20/10/2023), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih terkoreksi sebesar 0,02 persen. 

Meningkatnya volatilitas di pasar global disebut menjadi pemicu anjloknya harga saham. Menuju akhir 2023 yang hanya bersisa dua bulan lagi, apakah berinvestasi di pasar saham masih menarik?

Baca Juga

Senior Portfolio Manager Equity Manulife Aset Manajemen Indonesia Caroline Rusli mengatakan, saat ini adalah kesempatan yang baik bagi investor yang ingin berinvestasi di pasar saham Indonesia. Caroline menilai valuasi saham saat ini murah didukung fundamental ekonomi yang kuat.

"Pasar saham Indonesia menawarkan valuasi yang rendah dengan fundamental perekonomian domestik yang positif," kata Caroline dalam ulasan Seeking Alpha MAMI Oktober 2023. 

Menurut Caroline, investor bisa memanfaatkan kondisi bank sentral AS Federal Reserve yang belum mengubah arah kebijakan suku bunganya. Perubahan sikap The Fed yang lebih akomodatif akan menjadi game changer bagi pasar, baik untuk kelas aset saham maupun obligasi. 

Katalis selanjutnya yaitu realisasi belanja pemerintah. Caroline menjelaskan, jelang akhir tahun percepatan belanja pemerintah dan distribusi anggaran Pemilu menjadi katalis yang dapat mendorong pasar saham Indonesia menguat lebih lanjut.

Di sisi lain, Caroline mengatakan, investor tetap harus mewaspadai sejumlah risiko yang membayangi pasar saham. Implikasi suku bunga tinggi yang lebih lama akan berdampak pada meningkatnya imbal hasil obligasi AS dan nilai tukar dolar AS. 

Di samping itu kenaikan harga minyak dapat menjadi faktor negatif bagi konsumsi karena mengurangi daya beli masyarakat. "Hal ini memberi tantangan bagi kebijakan moneter dan berpengaruh pada imported inflation di kawasan negara berkembang, termasuk Indonesia," kata Caroline.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement