REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Keempat anak Waseem Mushtaha sudah hampir dua pekan tidak bersekolah. Alih-alih belajar matematika atau geografi, mereka malah diajarkan cara menjatah air.
“Setiap hari saya mengisi sebotol air untuk setiap orang dan saya memberi tahu mereka, 'Cobalah untuk mengelola ini'. Awalnya mereka kesulitan, tapi sekarang mereka bisa mengatasinya," kata Mushtaha yang berbicara kepada Aljazirah dari Kota Khan Younis di Gaza selatan.
Setelah Israel mengeluarkan perintah evakuasi terhadap 1,1 juta warga Palestina di bagian utara Gaza, Mushtaha mengantar istri dan anak-anaknya yang berusia delapan hingga 15 tahun ke rumah bibinya di Khan Younis. Sebagai petugas air dan sanitasi untuk organisasi nirlaba global Oxfam, Mushtaha melihat tanda-tanda bencana kesehatan masyarakat di sekelilingnya.
"Orang-orang tidur di jalanan, di toko, di masjid, di mobil, atau di jalanan,” kata Mushtaha.
Keluarga Mushtaha tinggal bersama sekitar 100 orang yang berdesakan di apartemen seluas 200 meter persegi dan termasuk di antara orang-orang yang beruntung. Sementara itu, produk-produk kebersihan telah menghilang dari beberapa supermarket yang masih buka, dan air yang dijual oleh pedagang swasta yang menjalankan fasilitas desalinasi kecil bertenaga surya harganya naik dua kali lipat sejak tanggal 7 Oktober. Sebelum perang meletus, air dibanderol dengan harga 30 shekel (7,40 dolar AS). Namun setelah perang harganya menjadi 60 shekel (15 dolar AS).
Pada Rabu (18/10/2023), Mushtaha memperkirakan keluarganya akan kehabisan air dalam 24 jam. Setelah itu, dia tidak tahu apa yang akan terjadi.
“Kami akan pergi ke pasar dan membeli apa pun yang tersedia.Kami menatap masa depan dengan mata suram," ujar Mushtaha.
Oxfam dan badan-badan PBB telah memperingatkan bahwa hilangnya layanan air dan sanitasi akan memicu serangan kolera dan penyakit menular mematikan lainnya. Israel memutus pipa airnya ke Gaza, bersama dengan pasokan bahan bakar dan listrik untuk pembangkit listrik tenaga air dan limbah. Israel telah melakukan blokade total di Gaza, setelah serangan mengejutkan Hamas pada 7 Oktober.
Sebagian besar dari 65 stasiun pompa limbah di Gaza dan kelima fasilitas pengolahan air limbah terpaksa menghentikan operasinya. Menurut Oxfam, limbah yang tidak diolah kini dibuang ke laut sementara limbah padat juga berakhir di beberapa jalan di samping mayat yang menunggu untuk dikuburkan.
Pabrik desalinasi telah berhenti berfungsi dan pemerintah kota tidak dapat memompa air ke daerah pemukiman karena kekurangan listrik. Beberapa orang di Gaza mengandalkan air keran asin dari satu-satunya akuifer di wilayah kantong tersebut, yang terkontaminasi dengan limbah dan air laut, atau terpaksa meminum air laut. Sementara warga lainnya terpaksa minum dari sumur pertanian.
PBB mengatakan, saat ini di Gaza hanya tersedia tiga liter air per orang untuk memenuhi semua kebutuhan mereka termasuk minum, mencuci, memasak, dan buang air. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah air yang disarankan bagi seseorang untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dasar mereka yaitu antara 50-100 liter air setiap hari. Seorang pegawai lembaga amal Islamic Relief yang juga mencari perlindungan di Khan Younis menggambarkan situasi serupa.
“Di rumah orang tua saya, ada sekitar 20 anak dan tujuh orang dewasa yang mengungsi. Bahkan dengan banyaknya orang, kami hanya menyiram toilet dua kali sehari. Satu kali di pagi hari, satu kali di malam hari untuk menghemat air,” kata pegawai itu.
“Kami memasak makanan yang menggunakan sedikit air. Kami mandi untuk salat hanya satu atau dua kali. Tetangga kami punya sumur, tapi dia tidak punya listrik untuk memompa air. Mereka punya generator tapi tidak punya bahan bakar," ujar pegawai tersebut menambahkan.
Bagi mereka yang tidak memiliki tempat berlindung, kondisinya sangat memprihatinkan. Ada keluarga dengan anak-anak dan bayi baru lahir yang hidup tanpa tempat tinggal. Mereka hanya duduk di jalanan tanpa perlindungan, air, makanan atau apapun. Mereka tidak aman.
Kekhawatiran semakin meningkat bahwa dehidrasi dan penyakit yang ditularkan melalui air akan menyebabkan bencana kemanusiaan di tengah serangan udara Israel yang telah menyebabkan 4.137 warga Palestina meninggal.
“Kolera hanyalah salah satu dari banyak penyakit yang ditularkan melalui air. Jika kita bisa mendapatkan bantuan, banyak penyakit yang bisa dicegah. Tetapi Anda tidak bisa melakukan operasi kemanusiaan jika masih ada bom yang berjatuhan," ujar Kepala Kebijakan Kemanusiaan di Oxfam, Mathew Truscott.
Empat dari 34 rumah sakit tidak lagi beroperasi.