REPUBLIKA.CO.ID, BALI -- Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati kembali mengingatkan negara-negara di dunia akan ancaman nyata perubahan iklim.
Menurut dia, kondisi bumi sedang tidak baik-baik saja sehingga mengancam keberlangsungan kehidupan seluruh makhluk hidup di Bumi. Karena itu, Dwikorita mendorong seluruh negara untuk bisa berkolaborasi mengatasi permasalahan lingkungan.
"Perubahan iklim mengancam seluruh negara. Tidak peduli kondisi negaranya, baik negara maju, berkembang, dan negara kepulauan kecil semuanya mengalami bencana hidrometeorologi, bahkan multibencana hidrometeorologi," kata Dwikorita dalam Lokakarya bertajuk 'International Workshop on Climate Variabillty and Climate Services' di Bali seperti dikutip dari situs resmi bmkg.go.id, Senin (23/12/2023).
BMKG sendiri, Dwikorita melanjutkan, telah mengambil peranan penting dalam mendorong layanan informasi iklim berdasarkan ilmu pengetahuan dan kebijakan hukum untuk mengantisipasi kondisi perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan.
Dalam kesempatan tersebut, Dwikorita menyampaikan bahwa dampak perubahan iklim dirasakan oleh seluruh negara tanpa terkecuali. Dicontohkan Dwikorita adalah fenomena El Nino dan La Nina yang memicu terjadinya bencana hidrometeorologi. Tidak jarang, dalam satu negara bisa mengalami bencana banjir, tapi pada saat bersamaan juga mengalami kekeringan. Akibatnya kondisi ini membuat banyak orang menjadi hidup menderita.
Dalam laporan World Meteorogical Organization (WMO), ditegaskan bahwa laju perubahan iklim di dunia mengganggu seluruh sektor kehidupan utamanya adalah perekonomian sebuah negara. Negara maju misalnya bisa mengalami 60% dari jumlah kejadian bencananya terkait cuaca namun umunya hanya 0,1% dari pendapatan domestik bruto (PDB).
Namun, kondisi parah terpotret di negara berkembang yang terdampak 7% dari bencana global namun menyebabkan kerugian 5%-30% dari PDB. Sementara negara kepulauan kecil 20% dari bencana global menyebabkan kerugian hingga 5% dari PDB dan dibeberapa kasus bisa melebihi 100%.
"Kami melihat bahwa cuaca ekstrem, iklim, dan peristiwa terkait air menyebabkan 11.778 kejadian bencana yang dilaporkan antara tahun 1970-2021," ujarnya.
Kondisi tersebut, menurut Dwikorita, adalah masalah yang sangat serius dan menunjukkan ketidakadilan atau tidak adanya kepasitas yang sama di antar negara. Ketidakadilan iklim--menurutnya--dilihat dari di mana wilayah yang paling tidak berkembang akan menjadi wilayah yang paling menderita dari dampak perubahan iklim saat ini.
Atas dasar itu, melalui lokakarya internasional ini adalah satu upaya bagaimana menutup kesenjangan ketidakadilan iklim. Para peserta dapat memahami lebih jauh tentang variabilitas iklim, dampaknya, dan bagaimana memberdayakan badan meteorologi untuk memberikan layanan iklim yang lebih akurat, tepat waktu, dan bermakna.
"Hal ini tidak hanya mencakup mengenali tantangan tetapi juga mengidentifikasi potensi keuntungan dalam menghadapi variabilitas iklim dan memanfaatkan jasa layanan iklim dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan masyarakat dan lingkungan," kata Dwikorita.
Dwikorita berharap lokakarya ini dapat memberikan banyak manfaat, terutama untuk meningkatkan pemahaman, pengetahuan dan wawasan mengenai topik-topik spesifik seperti ilmu dasar ENSO dan IOD, El Nino 2023, dan dampak kekeringan terhadap sektor dan layanan iklim sektoral.
Sementara itu, Plt Deputi Bidang Klimatologi, Ardhasena Sopaheluwakan, menyampaikan tujuan dari lokakarya internasional ini juga adalah untuk menguatkan kapasitas layanan yang mendukung adaptasi perubahan iklim, sehingga dampak negatif dan kerugian dari perubahan iklim, terutama yang sangat terasa dampaknya di negara miskin atau negara berkembang dan negara kepulauan, dapat dicegah dan dikurangi sehingga keadilan iklim dapat terwujud.