REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Samudra Pasifik yang luas, meliputi lebih dari 32 persen permukaan bumi, memiliki pengaruh yang besar terhadap pola iklim global. Pergeseran periodik dalam suhu air laut dan pola angin yang dikenal sebagai El Nino, memainkan peran penting dalam meteorologi global. Meskipun para ilmuwan yakin bahwa aktivitas manusia juga memengaruhi osilasi ini.
Sebuah penelitian terbaru dari University of California-Santa Barbara telah mengungkapkan perubahan tak terduga dalam Sirkulasi Walker Pasifik selama era industri. Penelitian ini juga mengidentifikasi letusan gunung berapi sebagai faktor pengganggu sementara sirkulasi, yang memicu kondisi El Nino.
"Pertanyaannya adalah, 'Bagaimana sirkulasi berubah?’ kami sangat peduli dengan Sirkulasi Walker karena sirkulasi ini mempengaruhi cuaca di seluruh dunia,” kata salah satu penulis studi, Samantha Stevenson, seperti dilansir Study Finds, Senin (23/10/2023).
Sirkulasi ini muncul karena rotasi Bumi, menyebabkan air hangat terakumulasi di sisi barat cekungan lautan, terutama di Pasifik. Hal ini menyebabkan peningkatan kelembaban di Asia dan angin dengan ketinggian rendah yang bertiup ke arah barat melintasi lautan. Sirkulasi Walker, sebuah siklus atmosfer yang disebabkan oleh kondisi ini, memiliki efek yang luas pada pola cuaca di Pasifik tropis dan sekitarnya.
"Pasifik tropis memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap iklim global. Memahami bagaimana ia merespons letusan gunung berapi, aerosol antropogenik, dan emisi gas rumah kaca merupakan hal yang sangat penting untuk memprediksi variabilitas iklim dengan lebih baik,” kata salah satu penulis studi, Sloan Coats.
Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif, para peneliti meneliti catatan biologis dan geologis dari 800 tahun terakhir, dengan mengambil data dari berbagai sumber seperti inti es, cincin pohon, dan karang.
"Semua itu bukan termometer, tapi mengandung informasi tentang iklim," jelas Stevenson.
Salah satu aspek kunci dari penelitian mereka adalah menganalisis isotop, variasi dari sebuah elemen, yang ada di berbagai struktur alam. Hal ini membantu mereka melacak pergeseran historis dalam Sirkulasi Walker dan memahami perubahan sebelum dan sesudah konsentrasi gas rumah kaca melonjak.
"Kami berangkat untuk menentukan apakah gas rumah kaca telah mempengaruhi Sirkulasi Walker Pasifik. Kami menemukan bahwa kekuatannya secara keseluruhan belum berubah, tetapi perilaku dari tahun ke tahun berbeda," kata penulis utama studi, Georgy Falster, seorang peneliti di Australian National University.
Para ilmuwan juga menemukan konsistensi yang mengejutkan dalam kekuatan sirkulasi. Ini dianggap sebagai salah satu hasil yang mengejutkan. Karena pada akhir abad ke-21, sebagian besar model iklim menunjukkan bahwa Sirkulasi Walker akan melemah.
Letusan gunung berapi muncul sebagai faktor lain yang berpengaruh. Setelah letusan gunung berapi, peneliti melihat pelemahan Sirkulasi Walker Pasifik yang sangat konsisten. Hal ini menghasilkan kondisi seperti El Nino. Memahami respons sistem iklim terhadap perubahan iklim ini sangat penting untuk prediksi dan kesiapan di masa depan.
"Jika kita tidak tahu apa yang terjadi di dunia nyata, maka kita tidak tahu apakah model yang kita gunakan untuk memproyeksikan perubahan di masa depan, dampak dan risikonya memberikan gambaran yang tepat," kata Stevenson.
Para ilmuwan kini menganalisa lebih dalam, dan berusaha menentukan akar penyebab perubahan yang mereka amati di Sirkulasi Walker. Dengan menggunakan rasio isotop dalam model mereka, mereka berharap dapat menguji berbagai hipotesis, menyempurnakan pemahaman kita tentang sistem yang sangat penting ini. Penelitian ini diterbitkan dalam jurnal Nature.