REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Bagaimana nepotisme dalam pandangan Islam? Lalu apakah kisah-kisah nabi yang mengangkat keluarganya dalam tampuk kepemimpinan dapat menjadi dalil bolehnya nepotisme?
Nabi-nabi terdahulu mengangkat keluarganya untuk membantunya dalam memimpin umat. Misalnya saja Nabi Musa yang mengangkat Nabi Harun untuk membantunya dalam memimpin umat. Sebagaimana dalam surat Taha ayat 29-32:
وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي . هَارُونَ أَخِي . اشْدُدْ بِهِ أَزْرِي . وَأَشْرِكْهُ فِي أَمْرِي .
Artinya: “Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku. (yaitu) Harun, saudaraku. teguhkanlah dengan dia kekuatanku. dan jadikankanlah dia sekutu dalam urusanku.” (QS Taha ayat 29-32).
Pakar tafsir Alquran yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Pasca Tahfiz Bayt Alquran, KH Syahrullah Iskandar mengatakan bahwa yang disebut dengan nepotisme sejatinya adalah kesukaan dan kecenderungan yang berlebihan kepada orang dekat sehingga memprioritaskannya dalam menduduki sebuah jabatan.
Menurutnya perilaku ini termasuk perilaku tercela dalam Islam karena mengabaikan prinsip keadilan. Sebab pertimbangan utamanya adalah hanya relasi kekeluargaan dan faktor kekerabatan tanpa memperhatikan kapabilitas, profesionalitas, dan sikap amanah.
Kiai Syahrullah menjelaskan bahwa sebuah jabatan adalah amanah. Sehingga butuh kesiapan dan kemampuan bagi orang yang mengembannya.
Kiai Syahrullah mengatakan bahwa sahabat Abu Dzar radiyallahu anhu pernah meminta kepada Rasulullah SAW agar dirinya dapat menduduki sebuah jabatan publik.
Meski Abu Dzar dikenal sebagai sahabat yang saleh dan dekat dengan Rasulullah SAW, tapi Rasulullah menilai Abu Dzar belum pantas menduduki jabatan tersebut karena besarnya amanah yang akan ditanggungnya.
"Meski faktor kedekatan dan kesalehan individu Abu Dzar tidak diragukan, tetapi menduduki sebuah jabatan publik mensyaratkan lebih dari itu. Sebuah jabatan di akhirat kelak berubah menjadi sebuah siksa dan penyesalan jika diabaikan," kata Kiai Syahrullah kepada Republika.co.id pada Selasa (24/10/2023).
Lebih lanjut Kiai Syahrullah mengatakan, Rasulullah SAW menekankan dua hal yang harus terpenuhi ketika menduduki sebuah jabatan, yaitu kepantasan dalam mengembannya dan memperolehnya dengan cara yang baik serta menunaikannya secara baik juga.
"Ini bukan berarti kerabat atau orang dekat tidak boleh menduduki sebuah jabatan. Yang diperlukan adalah kapasitas individu, integritas, dan kemampuan mengemban amanah dengan baik yang lebih diprioritaskan menjadi dasar pertimbangannya, bukan faktor kekeluargaan atau kekerabatan," kata Kiai Syahrullah.
Baca juga: Secarik Alquran Bertuliskan Ayat As-Saffat Ditemukan di Puing Masjid Gaza, Ini Tafsirnya
Sebagaimana kisah Nabi Musa yang mengangkat Nabi Harun untuk membantunya memimpin Bani Israil adalah karena Nabi Musa melihat kapasitas dan integritas Nabi Harun yang dianggap mampu membantunya.
Begitupun kisah Nabi Yusuf pun mengandalkan kapasitas pribadinya ketika untuk menjabat sebagai bendahara di Kerajaan Mesir.
"Nabi Yusuf ketika meminta untuk menduduki posisi bendahara di Kerajaan Mesir, yang dia andalkan adalah kapasitas pribadinya, yaitu hafizh dan amin. Kata hafizh yang berarti “pemelihara” didahulukan penyebutannya dari kata alim yang berarti “sangat mengetahui” sebagai tanda bahwa memelihara amanah jauh lebih diprioritaskan dari sekadar penguasaan ilmu. Keduanya menjadi prasyarat menduduki sebuah jabatan," kata Kiai Syahrullah.