REPUBLIKA.CO.ID, LONDON— Departemen kepolisian Inggris mendapat kritik dari beberapa pihak akhir pekan lalu. Hal ini menyusul teriakan 'jihad', yang bergema dalam aksi protes anti-Israel.
Kepala Departemen Kepolisian terbesar Inggris pun menanggapi kritik tersebut pada Senin (23/10/2023) kemarin. Diketahui, pasukannya tidak melakukan penangkapan terhadap pihak yang meneriakkan "jihad" tersebut.
Komisaris Polisi Metropolitan Mark Rowley membela polisi. Dia memberikan alasan, bahwa pihaknya tidak dapat memaksakan “selera dan kepatutan”.
Dia juga menyarankan jika politisi ingin tindakan yang lebih keras diambil, mereka harus mempertimbangkan untuk mengubah undang-undang.
Dilansir di Anadolu Agency, Selasa (24/10/2023), masalah ini mengemuka setelah aksi unjuk rasa yang diselenggarakan oleh kelompok Islam Hizbut Tahrir. Dalam pelaksanaannya, beberapa peserta yang hadir meneriakkan kata “jihad.”
Menteri Dalam Negeri Suella Braverman bertemu dengan Rowley pada Senin. Dia meminta klarifikasi mengapa tidak ada penangkapan yang dilakukan sehubungan dengan insiden tersebut.
"Saya tadi menjelaskan, betapa kami sangat kejam dalam menindak siapa pun yang melanggar hukum. Kami bertanggung jawab pada hukum, kami tidak bisa memaksakan selera atau kepatutan, tapi kami bisa menegakkan hukum," ujar Rowley.
Dia juga menyebut pihaknya telah melakukan 34 penangkapan sejauh ini. Mereka juga tengah menangani 22 kasus lainnya, yang mana kepolisian sedang mencari individunya.
"Pembicaraan telah selesai mengenai garis hukum. Tugas kami adalah menegakkan garis tersebut," lanjut dia.
Tugas parlemen, kata dia, untuk membuat batas garis tersebut. Mungkin, peristiwa yang terjadi saat ini menggambarkan bahwa beberapa garis tersebut tidak tepat.
Pada 10 Oktober 2023 lalu, hanya beberapa hari setelah konflik Timur Tengah dimulai, Braverman mengeluarkan peringatan kepada kepala polisi atas pengibaran bendera Palestina di jalan-jalan Inggris.
Dia berpendapat bahwa pengibaran bendera tersebut ada kemungkin tidak sah, jika dilihat sebagai bentuk dukungan terhadap terorisme.
Tidak hanya itu, dia juga memberikan contoh aksi protes yang menurutnya berpotensi melanggar ketertiban umum, termasuk menargetkan lingkungan Yahudi, mengibarkan simbol pro-Palestina atau pro-Hamas, maupun meneriakkan slogan-slogan yang dapat diartikan anti-Israel.
Konflik di Gaza, yang berada di bawah pengeboman dan blokade Israel sejak 7 Oktober, dimulai ketika kelompok Palestina Hamas memulai Operasi Banjir Al-Aqsa.
Baca juga: Secarik Alquran Bertuliskan Ayat As-Saffat Ditemukan di Puing Masjid Gaza, Ini Tafsirnya
Sebuah serangan mendadak multi-cabang ini mencakup serangkaian peluncuran roket dan infiltrasi ke Israel melalui darat, laut dan udara.
Kelompok pejuang Hamas mengatakan serangan tersebut merupakan pembalasan, atas penyerbuan pemukim Israel ke Masjid Al-Aqsa, sekaligus meningkatnya kekerasan yang dilakukan pemukim terhadap warga Palestina.
Militer Israel kemudian melancarkan Operasi Pedang Besi terhadap sasaran Hamas di Jalur Gaza sebagai balasan.
Kementerian Kesehatan Palestina menyebut jumlah korban tewas akibat serangan udara Israel yang sedang berlangsung di Jalur Gaza, telah meningkat menjadi 5.087 orang.
“Korban jiwa termasuk 2.055 anak-anak, 1.119 perempuan dan 217 orang lanjut usia,” kata juru bicara Kementerian Ashraf al-Qudra, pada konferensi pers di Kota Gaza, Senin kemarin.
Dia juga mengatakan 15.273 orang juga terluka dalam serangan Israel. Di sisi lain, pihak berwenang Israel menyebut lebih dari 1.400 warganya tewas dalam serangan Hamas sejak 7 Oktober.
Sumber: anadolu