REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Duduk di dalam Rumah Sakit Al-Shifa di Kota Gaza, di tengah ratapan dan duka, Ahmed Abu Al-Saba berusia 35 tahun menuliskan namanya di lengannya. Aksinya itu jika Shakespeare masih hidup saat ini, mungkin akan membuatnya memikirkan ulang kalimat “Apalah Arti Sebuah Nama?”.
“Kami menuliskan nama kami di tangan kami sendiri dan nama anak-anak kami di tangan mereka agar tubuh ini dapat diidentifikasi jika pesawat pendudukan (Israel) mengebom kami,” kata Al-Saba kepada Anadolu Agency.
Penyataan itu menggugat adegan Juliet saat bertanya kepada Romeo, “Apalah arti sebuah nama?” untuk menyampaikan gagasan bahwa penamaan sesuatu tidak relevan bahwa “Mawar adalah mawar dengan nama lain.” Namun di Gaza saat ini, ratusan anak mengantre di rumah sakit untuk mendaftarkan namanya di tangan mereka.
Al-Saba adalah satu dari ratusan warga Palestina, terutama anak-anak, yang menandai bagian tubuhnya dengan nama. Cara ini dilakukan agar mereka dapat diidentifikasi lebih mudah jika mereka kehilangan nyawa dalam konflik yang sedang berlangsung.
Tinta hitam tersebut merupakan tanda kecil dari ketakutan dan keputusasaan yang dirasakan oleh para orang tua di daerah kantong padat penduduk tersebut. Sedangkan Israel terus melancarkan serangan udara tanpa henti sebagai pembalasan atas serangan tidak terduga Hamas pada 7 Oktober.
“Kami menerima beberapa kasus di mana orang tua menuliskan nama anak-anak mereka di kaki dan perut,” ujar kepala unit gawat darurat Rumah Sakit Martir AlAqsa Dr. Abdul Rahman Al Masri dikutip dari CNN.
Al Masri mengatakan, para orang tua khawatir apa pun bisa terjadi,” dan tidak ada yang bisa mengidentifikasi anak-anaknya. “Ini berarti mereka merasa menjadi sasaran kapan saja dan bisa terluka atau menjadi martir,” katanya.
Children in Gaza are having their names written on their bodies so that they can be easily identified after being killed by Israeli airstrikes. pic.twitter.com/FmbA8Y4SLx
— The Cradle (@TheCradleMedia) October 22, 2023
Sekitar 2.055 anak-anak telah terbunuh oleh serangan Israel sejak serangan pemboman terhadap wilayah kantong Palestina yang terkepung dua minggu lalu. Berlari menyelamatkan diri di tengah reruntuhan rumah dan properti, warga Palestina yang menderita telah memastikan bahwa mereka dapat diidentifikasi jika menjadi sasaran serangan berikutnya oleh pasukan Israel.
Selama dua pekan terakhir ratusan anak-anak telah dikeluarkan dari reruntuhan bangunan yang terkena serangan udara di salah satu tempat terpadat di dunia. Banyak dari mereka tidak dapat dikenali karena luka-luka mereka.
“Banyak anak-anak yang hilang, banyak yang sampai di sini dengan tengkorak patah… dan tidak mungkin untuk mengidentifikasi mereka, hanya melalui tulisan itulah mereka dapat diidentifikasi," ujar Pengawas ruangan di Rumah Sakit Martir Al Aqsa.
Pemandangan lingkungan yang dibombardir di Gaza mengungkap kisah bencana dan kehancuran. Lebih dari satu juta orang terpaksa mengungsi, dan ratusan lainnya mengungsi di rumah sakit dan sekolah yang dikelola PBB.
Sebanyak 5.087 warga Palestina, termasuk 1.023 perempuan dan 2.055 anak-anak, terbunuh akibat serangan Israel di Gaza, sementara 15.273 lainnya terluka. “Keluarga-keluarga tersebut menuliskan nama mereka di tangan dan kaki sehingga mereka dapat diidentifikasi setelah dibom oleh Israel, menggunakan bom maut buatan Amerika dan dipasok Amerika,” tulis akademisi Palestina Sami Al-Arian di media sosial X.
“Darah mereka yang tidak bersalah ada di tangan (Presiden AS Joe) Biden dan teman-temannya yang haus darah. Di dunia mereka, anak-anak Palestina tidak layak untuk hidup, sementara penjahat Israel dilindungi dan dipuji. Terkutuklah rasisme dan kemunafikan Anda!" kata Al-Arian.
Kepala misi di Yerusalem untuk kelompok yang juga dikenal sebagai Medecins Sans Frontieres Leo Cans menyatakan, bahwa rekan-rekannya mengatakan kepadanya, keluarga-keluarga tersebut tidur di kamar yang sama. "Mereka ingin hidup bersama atau mati bersama," ujarnya.