REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Teleskop Luar Angkasa James Webb (JWST) milik NASA pada awalnya disebut-sebut memiliki kekuatan untuk mengungkap cakrawala terjauh alam semesta kita. Bahkan beberapa gambar paling indah di observatorium, sebenarnya adalah gambar tata surya kita sendiri.
Dengan kumpulan cermin berlapis emas dan ransel peralatan inframerah, seperti Kamera Inframerah Dekat (NIRCam), Teleskop Luar Angkasa James Webb telah memperkenalkan kita kembali ke tempat menakjubkan yang kita sebut rumah.
Penampakan itu membuat kita merasa seperti sedang melihat dunia kita, planet tetangga untuk pertama kalinya lagi. Hal ini bahkan memberi kita gambaran tajam tentang cincin rapuh Neptunus, sesuatu yang belum pernah dilakukan selama 30 tahun.
Namun pada Kamis (19/10/2023), para ilmuwan mengumumkan, selain memberi kita pandangan baru tentang tata surya, gambar JWST tentang lingkungan kosmik, juga memberi kita data baru tentang planet yang kita pikir sudah kita kenal dengan baik, Jupiter.
Gambar yang diambil oleh observatorium raksasa gas tersebut, tahun lalu telah berhasil menunjukkan kepada kita hal-hal baru tentang bulan, atmosfer, dan cincinnya. Ya, Jupiter juga memiliki cincin!
Pada dasarnya, setelah memeriksa gambar Jupiter yang diambil JWST pada 2022, tim peneliti menyadari ada aliran berkecepatan tinggi di planet ini yang lebarnya lebih dari 3.000 mil (4.800 kilometer) dan bergerak dengan kecepatan yang sama sekitar 320 mph (515 kph). Ini adalah sesuatu yang belum pernah terlihat sebelumnya.
“Hal ini benar-benar mengejutkan kami,” kata Ricardo Hueso dari Universitas Basque Country di Bilbao, Spanyol, dan penulis utama makalah yang menjelaskan temuan tersebut, dalam sebuah pernyataan.
“Sungguh menakjubkan bagi saya, setelah bertahun-tahun melacak awan dan angin Jupiter dari berbagai observatorium, kita masih harus belajar lebih banyak,” kata salah satu anggota studi baru tersebut Leigh Fletcher dari Universitas Leicester di Inggris, melansir dari Space, Selasa (24/10/2023).
Menurut tim, gelombang angin kencang yang baru ditemukan di Jupiter ini meledak dengan kecepatan sekitar dua kali lipat kecepatan badai Kategori 5 di Bumi dan berada tepat di atas garis khatulistiwa. Ini mungkin bisa menjelaskan atmosfer planet yang bergejolak.
Faktanya, semua gambar Jupiter tahun 2022 ini mungkin dapat membantu para peneliti menyimpulkan apa yang terjadi di langit bola bergaris aprikot tersebut. “Apa yang selalu kita lihat sebagai kabut kabur di atmosfer Jupiter kini muncul sebagai fitur tajam yang dapat kita lacak seiring dengan rotasi cepat planet tersebut,” kata Hueso.
Jupiter terkenal karena cuacanya yang ekstrem, mungkin kita pernah mendengar tentang Bintik Merah Besar Jupiter, misalnya, yang merupakan badai raksasa yang tidak pernah berakhir dan sangat besar, sehingga dapat terlihat dari sudut pandang kita di Bumi dengan teleskop optik biasa.
Dan, yang penting bagi penyelidikan sains ini, atmosfer Jupiter berlapis-lapis, seperti atmosfer Bumi. Ini berarti kecepatan angin di berbagai lapisan mungkin berkontribusi terhadap gejolak iklim di planet raksasa tersebut.
Hal itu pula yang menjadi alasan Hueso dan rekan-rekan penelitinya berharap, untuk membandingkan apa yang dilihat oleh penglihatan inframerah JWST di antara lapisan atmosfer Jupiter yang berada di ketinggian (yang mengungkapkan aliran jet baru melalui beberapa fitur terkait awan), dengan apa yang telah dilihat oleh Teleskop Luar Angkasa Hubble di lapisan yang lebih dalam.
Mudah-mudahan, ini bisa memberi kita gambaran yang cukup jelas tentang angin liar Jovian tersebut.
Faktanya, gambar Hubble (yang terutama dikaitkan dengan bagian spektrum elektromagnetik tampak dan ultraviolet) telah membantu memberikan informasi, tentang seperti apa area di sekitar ekuator Jupiter (sehingga tim dapat memiliki garis dasar sebelum mempelajari data aliran jet ekuator JWST) dan mengenai badai lain di wilayah tersebut yang tidak terkait dengan jet tersebut.
“Kami mengetahui perbedaan panjang gelombang Webb dan Hubble akan mengungkap struktur tiga dimensi awan badai, namun kami juga dapat menggunakan waktu data tersebut untuk melihat seberapa cepat badai berkembang,” Michael Wong dari University of California, Berkeley yang memimpin pengamatan Hubble terkait dan merupakan anggota studi baru tersebut, mengatakan dalam pernyataan itu.
Dengan kata lain, tim menjelaskan, perbandingan tersebut dapat membantu kita memahami bagaimana kecepatan angin di Jupiter berubah, seiring ketinggian dan menghasilkan apa yang dikenal sebagai ‘wind shears’, yaitu semacam gradien kecepatan angin dalam jarak pendek.
Gelombang angin yang sangat cepat itu sendiri terletak sekitar 25 mil (40 kilometer) di atas puncak awan di Planet Jupiter, jadi jika kecepatan angin yang lebih rendah menunjukkan kecepatan yang jauh lebih rendah, kemungkinan besar akan terjadi pergeseran angin (wind shears).
“Jupiter memiliki pola angin dan suhu yang rumit namun berulang di stratosfer khatulistiwa, jauh di atas angin di awan dan kabut yang diukur pada panjang gelombang ini,” kata Fletcher.
Jika kecepatan baru ini dihubungkan dengan pola osilasi stratosfer, diperkirakan kecepatan angin tersebut akan sangat bervariasi dalam dua hingga empat tahun ke depan. “Akan sangat menarik untuk menguji teori ini di tahun-tahun mendatang,” kata dia.