REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Backlog atau kebutuhan perumahan di Tanah Air masih sekitar 12,71 juta tahun ini. Sementara, laju pertumbuhan keluarga baru yang membutuhkan rumah berkisar 700 ribu sampai 800 ribu keluarga per tahun.
Direktur Eksekutif Segara Institure Piter Abdullah menyebutkan, ada beberapa cara memenuhi backlog tersebut. Di antaranya dengan mendorong permintaan perumahan.
"Untuk mengejar backlog agar seimbang, bukan turunkan harga (rumah). Kalau diturunkan disinsentif bagi pengembang, kalau harga turun mereka nggak mau bangun perumahan lagi, itu bahaya untuk kita," ujarnya dalam Webinar Pembangunan Perumahan Untuk Rakyat yang digelar Republika bekerja sama dengan Bank BTN, Selasa (24/10/2023).
Ia menyebutkan, butuh rumah lebih tinggi lagi dari jumlah backlog. Maka untuk mengatasinya, pemerintah bisa meningkatkan bantuan ke Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) agar bisa mengakses kepemilikan rumah sederhana.
Lalu, lanjutnya, sering juga rumah dibangun dalam kondisi yang tidak semuanya memiliki fasilitas umum ideal, maka harus bisa membantu perumahan tersebut mempunyai akses publik. Dengan begitu, masyarakat terdorong membeli rumah itu.
"Jadi bukan dorong suplai developer alami kerugian tapi demand-nya dinaikkan. Kemudian program pemerintah dikembangkan lagi supaya program tersebut bisa dimanfaatkan," jelas Piter.
Dirinya mengakui, selama ini pemerintah sudah berupaya meningkatkan program kepemilikan rumah. Di antaranya program Satu Juta Rumah (PSR) yang berjalan selama pemerintahan Presiden Joko Widodo atau 10 tahun terakhir.
"Pencapaiannya menurut saya sangat baik. Terus naik dari 2015 sampai 2022," katanya. Disebutkan, total rumah terbangun selama periode tersebut sekitar 7,98 juta unit, mendekati delapan juta unit. Dijelaskan, terdapat dua tipe rumah dalam PSR, yakni rumah MBR dan non MBR bagi kalangan menengah.