REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Mudzakarah Perhajian Indonesia 2023 menetapkan bahwa jamaah haji yang akan diberangkatkan ke Tanah Suci harus memenuhi istithaah kesehatan (badaniyyah) yang merupakan bagian dari pemenuhan syarat wajib pelaksanaan ibadah haji. Mudzakarah Perhajian Indonesia tersebut menghasilkan sembilan rekomendasi.
Menanggapi hal tersebut, Pengamat Haji dan Umroh Indonesia, Ade Marfuddin mengatakan, istithaah kesehatan sebagai syarat untuk berangkat ke Tanah Suci perlu segera disosialisasikan. Perlu disosialisasikan secara lengkap, apa itu yang dimaksud sehat, dan apa yang dimaksud sehat dan memenuhi syarat itu seperti apa.
"Kalau (kesehatan) ini menjadi syarat utama maka jelaskan apa ukuran sehat sesungguhnya dalam urusan haji? Jangan sampai antara medis dan nonmedis artinya Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan belum ada kata sepakat (sehat itu apa ukurannya) jadi harus jelas apa standar dan ukuran kesehatan itu," kata Ade kepada Republika, Rabu (25/10/2023)
Ade juga menegaskan, siapa yang berhak memutuskan bahwa calon jamaah haji ini tidak sehat, apakah dokter atau hasil diagnosis. Maka harus diperjelas terkait hal ini.
Apakah dokter di Puskesmas atau di rumah sakit besar yang memeriksa kesehatan dan memutuskan hasilnya. Perlu diantisipasi sebab ada kekhawatiran jika dokternya adalah keluarga calon jamaah haji yang diperiksa kesehatannya, nanti calon jamaah haji tidak sehat tapi dinyatakan sehat.
"Apakah tega kalau dokternya adalah keluarga dari calon jamaah haji, apakah tega dokternya tidak meloloskan istithaah," ujar Ade.
Ade juga menjelaskan bahwa harus ada buku kesehatan calon jamaah haji. Biasanya setelah disuntik meningitis dapat buku kecil bukti telah disuntik. Maka perlu ada buku khusus untuk calon jamaah haji kontrol kesehatan secara berkala.
Sebab bisa saja calon jamaah haji sehat, tapi lima bulan kemudian menjelang berangkat haji malah sakit parah. Maka perlu ada buku kontrolnya kesehatan.
"Saat jamaah haji mau melunasi biaya haji harus membawa buku kuning buku kesehatan istithaah, misalnya dari Puskesmas yang memeriksa kesehatannya setiap satu bulan sekali dia kontrol," jelas Ade.
Menurutnya, perlu kontrol kesehatan secara rutin atau berkala untuk melihat perkembangan kesehatan calon jamaah haji sampai satu bulan menjelang keberangkatan ke Tanah Suci. Nanti pada bagian terakhirnya tes kesehatan di Asrama Haji menjelang berangkat.
Ade mengatakan, kontrol kesehatan calon jamaah haji harus berkala atau berurutan.
Ade juga mengingatkan, perlu diantisipasi adanya joki atau peran pengganti calon jamaah haji saat tes kesehatan. Pernah ada wanita hamil lolos tes kesehatan dan bisa terbang ke Arab Saudi.
"Mengapa ini bisa terjadi, ini ke teledoran rupanya ketika diperiksa di rumah sakit tidak hamil karena calon jamaah haji pakai data adiknya tapi saat berangkat hamil," kata Ade.
Ade menegaskan, jadi harus ada upaya mengantisipasi adanya joki tes kesehatan jamaah haji. Perlu diatur tahapan dan jumlah kontrol kesehatan yang harus dilakukan calon jamaah haji. Supaya jelas grafik atau parameter kesehatannya. Juga perlu dijelaskan bagaimana jika calon jamaah haji tidak memenuhi syarat kesehatan. Apakah dibadalkan atau bagaimana.