Kamis 26 Oct 2023 10:28 WIB

Rumah Sakit Terbesar di Gaza di Ambang Kehancuran

Rumah sakit terbesar di Gaza kesulitan menangani kedatangan korban luka.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Warga Palestina yang terluka akibat pemboman Israel menunggu perawatan di Rumah Sakit Shifa di Kota Gaza, Senin, 23 Oktober 2023.
Foto: AP Photo/Yasser Qudih
Warga Palestina yang terluka akibat pemboman Israel menunggu perawatan di Rumah Sakit Shifa di Kota Gaza, Senin, 23 Oktober 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Rumah sakit terbesar di Gaza, Al-Shifa gelap gulita karena kehabisan bahan bakar, air, dan obat-obatan. Rumah sakit utama di Gaza dipenuhi pasien. Kamar mayat sudah penuh, dan jenazah bertebaran di jalanan di luar Rumah Sakit Al-Shifa.

Di dalam RS Al-Shifa, ratusan orang yang terluka parah memenuhi lorong saat para dokter memeriksa nyawa mana yang bisa mereka selamatkan.  Laki-laki, perempuan dan anak-anak termasuk di antara mereka yang terluka. Para dokter bekerja di bawah tekanan yang sangat besar. Mereka mengetahui bahwa semua layanan akan segera terhenti ketika generator cadangan berhenti beroperasi.

Baca Juga

Israel memberlakukan blokade penuh di Gaza. Mereka memutus pasokan listrik, air, makanan, bahan bakar, dan obat-obatan. Karena kebutuhan ini terkuras lebih cepat dibandingkan kemampuan rumah sakit, Al-Shifa berada di ambang bencana.

Rumah Sakit Al-Shifa kesulitan menangani kedatangan korban luka. Staf rumah sakit juga mengkhawatirkan pasien kritis lainnya. Sebanyak 70 pasien menggunakan ventilator, ratusan pasien menerima dialisis, dan 118 bayi di inkubator.  Tanpa listrik, pasien-pasien itu akan mati.  Komite Palang Merah Internasional (ICRC) menyebut eskalasi konflik ini “menjijikkan”.

“Ketika Gaza kehilangan aliran listrik, rumah sakit pun kehilangan pasokan listrik, sehingga bayi baru lahir yang berada di inkubator dan pasien lanjut usia yang membutuhkan oksigen berada dalam risiko.  Dialisis ginjal berhenti, dan rontgen tidak dapat dilakukan.  Tanpa listrik, rumah sakit berisiko berubah menjadi kamar mayat,” kata Fabrizio Carboni, direktur regional Komite Palang Merah Internasional (ICRC) untuk Timur Dekat dan Tengah, dilaporkan Aljazirah.

Sementara itu, di unit perawatan intensif neonatal Al-Shifa, sebagian besar bayi di inkubator  terhubung dengan ventilasi mekanis.  Ketika generator tidak berfungsi, inkubator akan berhenti bekerja, dan sebagian besar bayi akan meninggal.  Nasib serupa juga dialami oleh pasien cuci darah atau dialisis.

Departemen dialisis di Al-Shifa merawat 1.800 pasien yang menerima dialisis tiga kali seminggu. Para pasien itu hidupnya tidak hanya terancam oleh pengeboman tetapi juga rentan jika mereka tidak dapat menerima perawatan yang menyelamatkan jiwa ini.

Rumah sakit di Gaza juga telah menjadi tempat perlindungan bagi banyak warga Palestina, begitu pula dengan Al-Shifa.  Kini tempat tersebut menjadi rumah bagi ratusan pengungsi yang tidak punya tempat lain untuk pergi.  Karena layanan dan kebutuhan dasar tidak lagi tersedia, beberapa orang yang tidak punya pilihan datang ke rumah sakit untuk mengungsi.

Dengan banyaknya korban tewas, dan kamar mayat yang penuh, para pengurus berjuang untuk mengidentifikasi dan menguburkan jenazah.  Ketika genset berhenti bekerja, kamar mayat tidak dapat berfungsi lagi.

“Rumah sakit berada dalam kondisi hancur total,” kata Kepala Rumah Sakit Al-Shifa di Gaza, Mohammed Abu Selmeya.

Perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Dr Richard Peeperkorn sebelumnya mengatakan, Rumah Sakit Al-Shifa yang didukung oleh badan PBB tersebut mengoperasikan generator pada tingkat minimum hanya untuk operasi penyelamatan jiwa. Badan PBB untuk pengungsi Palestina, UNRWA yang menjalankan operasi kemanusiaan terbesar di Gaza, mengatakan, mereka harus menghentikan semua operasinya di Gaza pada Rabu malam jika tidak mendapatkan lebih banyak pasokan bahan bakar.

Israel berhenti memasok listrik ke Gaza setelah serangan mengejutkan Hamas pada 7 Oktober. Gaza bergantung pada generator cadangan setelah satu-satunya pembangkit listrik di wilayah tersebut kehabisan bahan bakar pada 11 Oktober. Badan-badan bantuan dan petugas medis di Gaza memperingatkan bahwa akan lebih banyak orang yang meninggal jika peralatan penting terhenti tanpa listrik.

Seruan internasional untuk meningkatkan akses kemanusiaan ke Gaza semakin keras. Sebanyak 1,4 juta orang yang meninggalkan rumah mereka berjuang untuk mendapatkan makanan, air bersih, dan tempat berlindung.

Setidaknya 60 truk bantuan telah memasuki Gaza dari Mesir sejak akhir pekan. Namun jumlah tersebut hanya menyediakan sebagian kecil dari kebutuhan masyarakat di Gaza.  Badan-badan bantuan mengatakan setidaknya dibutuhkan 100 truk bantuan setiap hari.

Jumlah korban tewas di Gaza juga meningkat tajam. Kementerian Kesehatan di Gaza melaporkan, 756 orang wafat dalam 24 jam terakhir. Sementara total kematian warga sipil akibat serangan udara Israel mencapai 6.547 orang, termasuk 2.704 anak-anak.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement