REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mungkin tak banyak yang tahu, kejahatan perdagangan karbon, ternyata cukup marak. Diduga melibatkan auditor dari pihak ketiga.
Pendiri Bumi Global Karbon (BGK) Foundation, Achmad Deni Daruri mengatakan, interpol sudah memperingatkan adanya auditor pihak ketiga untuk perdagangan karbon kelas tinggi. Mereka dipekerjakan oleh skema seperti mekanisme pembangunan bersih Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memverifikasi proyek karbon.
Terkait itu, auditor ini sangat rentan terhadap suap atau kolusi. Tujuannya manipulasi hasil sehingga money laundering subur terjadi.
"Pencuci uang dapat menggunakan kombinasi dana yang diperoleh secara legal dan ilegal untuk membeli turbin dan panel tenaga surya di negara berkembang yang pengawasan dan peraturannya lemah," papar Deni di Jakarta.
Menurut Deni, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sepatutnya belajar dari kasus-kasus money laundering di perdagangan karbon di dunia maupun lokal.
Dikatakan, peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No 14 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Bursa Karbon seharusnya memberikan pedoman yang jelas dan tegas mengenai pencegahan dan penindakan money laundering dalam transaksi karbon. Namun, aturan tersebut masih sangat lemah dan tidak memadai.
Beberapa kelemahan yang dapat ditemukan, antara lain, pertama, tidak ada definisi yang eksplisit tentang money laundering dalam konteks bursa karbon. Sehingga menyulitkan identifikasi dan pelaporan kasus-kasus yang terjadi.
Kedua, lanjutnya, tidak ada kewajiban bagi penyelenggara bursa karbon untuk melakukan due diligence terhadap para pelaku pasar. Baik pembeli maupun penjual kredit karbon untuk memastikan bahwa mereka tidak terlibat dalam aktivitas ilegal atau mencurigakan.
"Ketiga, tidak ada sanksi yang tegas bagi para pelaku pasar yang terbukti melakukan money laundering. Baik berupa denda, pembekuan aset, pencabutan izin usaha, maupun pidana," kata Deni.
Keempat, lanjutnya, tidak ada kerja sama yang efektif antara penyelenggara bursa karbon dengan otoritas keuangan, perbankan, dan penegak hukum. Khususnya untuk melakukan pertukaran informasi dan koordinasi dalam mengawasi dan menangani money laundering.
Kelima, kata Deni, tidak mengatur secara jelas siapa yang bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang berpotensi terjadi dalam perdagangan karbon. Baik di tingkat nasional maupun internasional.
Padahal, perdagangan karbon merupakan salah satu sektor yang rentan terhadap TPPU. Karena melibatkan transaksi keuangan yang besar, kompleks, dan lintas batas. Selain itu, perdagangan karbon juga memiliki risiko tinggi terhadap manipulasi data, korupsi, dan penyalahgunaan wewenang oleh para pelaku usaha dan pejabat publik.
Keenam, lanjut Deni, kurangnya data dan informasi yang akurat, lengkap dan terkini tentang emisi GRK dari berbagai sektor dan subsektor ekonomi. Ini dapat mempengaruhi kualitas dan ketepatan hasil pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV) yang merupakan sumber money laundering.
Ketujuh, kurangnya harmonisasi dan sinkronisasi antara standar MRV nasional dengan standar MRV internasional. Terutama dalam konteks hubungan pasar karbon antara Indonesia dan negara-negara lain atau mekanisme pasar global juga merupakan bukti bahwa standar MRV nasional bagian dari praktek money laundering.
Pada 2020, Indonesia meneken perjanjian kerja sama dengan Norwegia untuk menjual kredit karbon hasil pengurangan deforestasi dan degradasi hutan. Namun, perjanjian ini mengalami kendala karena standar MRV yang digunakan oleh kedua negara berbeda, sehingga mempersulit proses verifikasi dan transfer kredit karbon yang juga membuktikan bahwa habitat money laundering telah mengakar di Indonesia.
Kedelapan, kurangnya mekanisme dan institusi yang efektif untuk mengawasi, mengevaluasi dan menindaklanjuti hasil MRV. Serta untuk menyelesaikan sengketa dan mengatasi kecurangan yang terjadi dalam proses MRV termasuk akibat money laundering.
Kesembilan, pemberian insentif dan sanksi hanya berfokus pada aspek ekonomi dan lingkungan. Tidak mempertimbangkan aspek sosial, budaya dan //money laundering// yang juga berpengaruh terhadap perilaku pelaku usaha.
Selain itu, pemberian insentif dan sanksi juga belum didukung oleh sistem monitoring, evaluasi, dan pelaporan yang transparan dan akuntabel yang juga bebas dari money laundering. Hal ini dapat menimbulkan potensi penyalahgunaan, manipulasi, atau penghindaran dari kewajiban pelaku usaha dalam mengurangi emisi karbon yang berbungkus money laundering.
Kesepuluh, kelemahan fatal dari pembentukan lembaga independen yang bertugas melakukan audit, monitoring, dan evaluasi dalam POJK 14 tahun 2023 tentang perdagangan karbon. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga tersebut belum memiliki kriteria dan standar yang jelas untuk menilai kinerja dan efektivitas dari skema perdagangan karbon.
Sehingga lembaga ini berpotensi menjadi instrumen dari aktivitas money laundering. "POJK ini juga akan menciptakan monopoli dan menghambat persaingan sehat di pasar karbon. Monopoli dalam pasar karbon dan money laundering adalah dua sisi dalam mata uang yang sama," kata Deni.