Kamis 26 Oct 2023 20:57 WIB

Industri Fesyen Mulai Melek Jejak Karbon, Permintaan Bahan Tekstil Daur Ulang Meningkat

Meski permintaan bahan tekstil daur ulang naik, ketersediaan bahan baku masih minim.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Bahan baku tekstil daur ulang kian diminati jenama fesyen global.
Foto: Www.freepik.com
Bahan baku tekstil daur ulang kian diminati jenama fesyen global.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah laporan terbaru dari Textile Exchange, yang didukung Boston Consulting Group and Quantis, mencatat bahwa perusahaan-perusahaan fesyen sudah lebih memperhatikan jejak karbon dari bahan-bahan mereka. Sekitar 400 jenama fesyen bahkan telah memverifikasi target tersebut atau menargetkan untuk melakukannya dalam dua tahun ke depan.

Ratusan jenama juga menetapkan visi yang lebih rinci dalam hal dampak lahan, pengelolaan air, kesejahteraan hewan, hingga kesejahteraan pekerja. Semua tren ini, didukung permintaan konsumen yang meningkat, mendorong percepatan ke arah fesyen yang lebih berkelanjutan.

Baca Juga

Oleh karena itu, laporan dari Textile Exchange menyebut bahan-bahan seperti kapas organik dan tekstil daur ulang sebagai 'preferred materials'. Ini merupakan istilah untuk bahan baku yang secara konsisten mengurangi dampak dan meningkatkan manfaat iklim. Meskipun memang, bahan-bahan tersebut hanya menyumbang sekitar 19 persen dari produksi fesyen global pada tahun 2021, atau 23 juta ton.

Pada tahun 2030, permintaan untuk 'preferred materials' diprediksi membengkak menjadi 163 juta ton. Namun, laporan Textile Exchange memperkirakan bahwa hanya 30 juta ton yang akan tersedia di pasar.

Direktur Climate and Impact Textile Exchange, Beth Jensen, mengungkap bahwa jenama-jenama fesyen gagal meningkatkan rantai pasokan yang aman untuk kain yang lebih berkelanjutan. Karena pada tahun 2030, hanya 19 persen dari bahan yang dijual oleh industri ini yang kemungkinan besar berasal dari preferred materials.

Laporan dari Textile Exchange juga mengaitkan kesenjangan penawaran dan permintaan, yang disebabkan oleh kurangnya persatuan dalam industri untuk mencapai investasi keuangan berskala besar dan permintaan yang jelas. Selain itu, terdapat pula fakta bahwa dampak perubahan iklim telah menghantam pusat-pusat produksi fesyen utama seperti India dan Pakistan, sehingga menghambat ketersediaan bahan produksi preferred materials.

Dalam laporannya, Jensen memperkirakan bahwa jenama-jenama yang membuat rantai pasokan bahan mereka lebih kuat dan bergerak lebih dulu untuk mendapatkan bahan pilihan, rata-rata dapat memperoleh peningkatan laba bersih sebesar 6 persen selama periode lima tahun hingga tahun 2030.

“Dalam menghadapi krisis iklim, lanskap kebijakan serta pengawasan investor dan konsumen, jenama-jenama fesyen harus berani bertindak dalam hubungan rantai pasokan yang akan memungkinkan pencapaian tujuan iklim mereka pada tahun 2030,” kata Jensen seperti dilansir dari Edie, Kamis (26/10/2023).

Laporan tersebut memperkirakan bahwa 163 juta ton fesyen akan diproduksi secara global pada tahun 2030, naik dari 125 juta ton pada tahun 2021. Laporan itu juga mengasumsikan bahwa permintaan akan bahan yang kurang berkelanjutan akan tumbuh bersamaan dengan permintaan bahan "preferred materials".

British Fashion Council telah menyatakan bahwa saat ini ada cukup banyak pakaian, sepatu, dan aksesori yang tersedia untuk enam generasi berikutnya karena kecepatan dan skala produksi yang terus meningkat dalam beberapa dekade terakhir.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement