REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Pemerintah Israel diduga tengah mengkaji gagasan untuk memindahkan 2,3 juta penduduk Palestina di Jalur Gaza ke Sinai, Mesir. Pemindahan itu dilakukan setelah mereka menuntaskan pertempurannya dengan Hamas yang saat ini sedang berlangsung.
Dilaporkan laman Middle East Eye, Kamis (26/10/2023), beberapa pejabat dan tokoh terkemuka Israel disebut sudah mendiskusikan pemindahan penduduk Gaza ke Sinai. Surat kabar Israel, Calcalist, melaporkan satu proposal yang diduga disusun Menteri Intelijen Israel Gila Gamliel. Dalam proposal tersebut, terdapat usulan tentang pemindahan masyarakat Gaza ke Sinai.
Dokumen yang dilihat oleh Calcalist dilaporkan memuat logo Kementerian Intelijen Israel dan diedarkan ke kementerian-kementerian lain untuk dikonsultasikan. Informasi tersebut dibocorkan ke gerakan pemukim yang dikenal sebagai Settlement Headquarters - Gaza Strip, yang mengkampanyekan pembangunan kembali permukiman di Gaza. Israel mengusir pemukimnya dari Gaza pada 2005.
Dalam laporannya Gamliel menyebut, hasil terbaik setelah perang saat ini, yang akan memberikan hasil positif dan strategis jangka panjang bagi Israel, adalah pemindahan warga Palestina di Gaza ke Semenanjung Sinai. Langkah tersebut akan dilakukan dalam tiga tahap.
Pertama, pembentukan kota-kota tenda di Sinai. Kedua, pembentukan koridor kemanusiaan yang memungkinkan warga Palestina melarikan diri, diikuti pembangunan kota-kota di Sinai utara.
Terakhir, Israel kemudian akan menetapkan tanah tak bertuan beberapa kilometer jauhnya di dalam wilayah Mesir untuk memastikan bahwa warga Palestina tidak dapat kembali. Laporan yang disusun Gamliel juga menyerukan kerja sama antara Israel, negara-negara Arab, dan Eropa untuk juga menerima pengungsi Palestina.
Lembaga riset Israel, yakni Misgav Institute for National Security & Zionist Strategy, menyusun laporan yang mengamati kelayakan ekonomi dari pemindahan penduduk Gaza ke Sinai. Laporan bertajuk “A plan for resettlement and final rehabilitation in Egypt of the entire population of Gaza: economic aspects” sempat beredar di platform X.
Namun kini telah dihapus. “Saat ini ada kesempatan unik dan langka untuk mengevakuasi seluruh Jalur Gaza melalui koordinasi dengan Pemerintah Mesir,” kata Amir Weitmann, peneliti di Misgav Institute.
Dalam laporannya Misgav Institute mengklaim telah menyusun rencana berkelanjutan dan layak secara ekonomi untuk mengusir penduduk Gaza yang juga sejalan dengan “kepentingan geo-politik” Israel, Mesir, Arab Saudi dan Amerika Serikat (AS). Misgav Institute menyarankan agar warga Palestina dapat ditampung di dua kota satelit terbesar di Kairo, yakni “6 Oktober” dan “10 Ramadhan”. Kedua lokasi tersebut diberi nama setelah Perang Yom Kippur 1973, yang peringatan 30 tahunnya bertepatan dengan hari sebelum serangan Palestina.
Menurut laporan Misgav Institute, terdapat cukup apartemen untuk menampung 6 juta orang. Sebagian besar kompleks apartemen tersebut kosong karena masyarakat Mesir tidak mampu membeli unitnya.
Dengan skema biaya setiap unit sekitar 19 ribu dolar AS, laporan Misgav Institute memperkirakan bahwa biaya perumahan bagi warga Palestina di Gaza di pinggiran kota Kairo akan mencapai 8 miliar dolar AS. Nilai tersebut mewakili 1,5 persen PDB Israel, yang dapat dengan mudah dibiayai negara.
Laporan Misgav Institute berpendapat, kondisi perekonomian Mesir yang buruk dapat meyakinkan Kairo untuk mempertimbangkan tawaran tersebut. Jika diperlukan, Israel bahkan dapat mempertimbangkan untuk mengumpulkan dana sebesar 32 miliar dolar AS untuk meyakinkan Mesir agar menyetujui itu.
“Ini adalah solusi yang inovatif, murah dan berkelanjutan. Seiring berjalannya waktu, ini sebenarnya merupakan investasi yang sangat berharga bagi Israel dan Gaza akan menyediakan perumahan berkualitas tinggi bagi banyak warga Israel,” tulis Misgav Institute dalam laporannya yang sempat beredar di X.
Misgav Institute mengatakan, “investasi” Israel di Mesir juga akan bermanfaat bagi Eropa dengan menstabilkan perekonomian negara tersebut dan membantu membendung gelombang migrasi. Arab Saudi juga bisa mendapatkan keuntungan dari proposal itu.
Pertama, karena tindakan Israel di Gaza sering mengobarkan ketegangan di dunia Arab. Menyingkirkan warga Palestina akan memungkinkan “promosi perdamaian dengan Israel tanpa campur tangan opini publik lokal yang terus-menerus”.
Kedua, laporan Misgav Institute mencatat bahwa penduduk Gaza dapat dipekerjakan oleh Arab Saudi sebagai tenaga kerja murah untuk mengerjakan proyek konstruksi di seluruh negeri, termasuk pembangunan proyek andalannya saat ini, yakni NEOM. Laporan Misgav Institute menyimpulkan bahwa tidak jelas kapan peluang berikutnya untuk menyingkirkan warga Palestina dari Gaza akan muncul kembali.
“Waktunya untuk bertindak adalah sekarang,” kata Misgav Institute.
Misgav Institute dipimpin oleh mantan penasihat keamanan nasional Israel, Meir Ben-Shabbat. Dia dianggap sebagai salah satu arsitek Abraham Accords, yakni perjanjian normalisasi diplomatik Israel dengan Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko.
Ben-Shabbat juga diyakini dekat dengan komunitas intelijen Israel. Dia pernah bekerja selama 30 tahun di Shin Bet, badan keamanan internal Israel.