REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perubahan iklim yang dipicu oleh aktivitas manusia, telah menciptakan gangguan pada alam, seperti lautan. Perubahan ini ternyata menjadi ancaman bagi pulau-pulau kecil dengan cadangan air tawar yang terbatas.
Laut juga menyerap peningkatan karbon dioksida yang menyebabkan peningkatan suhu dan kadar asam di air asin. Aliansi Negara Pulau Kecil (AOSIS) mewakili kelompok yang terdiri dari 44 negara yang berjuang melawan kondisi mengerikan, yaitu tenggelamnya pulau.
Tuvalu, anggota AOSIS, menghadapi skenario berbahaya. Ketika negara ini perlahan-lahan mengalami banjir, Tuvalu yang kecil mungkin menjadi korban pertama dari perubahan iklim.
Terletak di antara pulau-pulau terkenal di Australia dan Hawaii, negara Tuvalu mendiami wilayah sepersepuluh luas Washington, D.C., Amerika Serikat. Terdiri dari tiga pulau karang dan enam atol di Pasifik Selatan Lautan, ketinggian puncak Tuvalu naik sekitar lima meter di atas lautan dan sebagian besar negara ini berada di bawah tanda dua meter.
Oleh karena itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menganggap kemungkinan besar Tuvalu akan menjadi negara pertama yang tenggelam akibat perubahan iklim. Ada permasalahan lain yang akan menghalangi populasi manusia untuk bertahan hidup di pulau tersebut, yaitu hilangnya pasokan air tawar di Tuvalu merupakan ancaman mengerikan pertama yang berasal dari naiknya air laut. Cadangan air tawar yang terbatas semakin berkurang karena kekeringan dan kontaminasi.
Naiknya permukaan air laut akan menggantikan lahan subur dengan cara yang sama seperti air laut secara perlahan akan menggantikan air tawar. Peningkatan suhu dan pengasaman lautan akan menambah tekanan pada produksi pangan Tuvalu.
Perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia diperkirakan akan meningkatkan jumlah karbon dioksida dan panas yang diserap ke laut sehingga meningkatkan kadar asam dan suhu rata-rata air. Asam akan melemahkan terumbu karang dan pelindung kerang sementara panas akan memutihkan karang dan mengurangi tingkat kelangsungan hidup spesies yang sensitif terhadap panas.
Menghilangkan habitat makhluk laut yang dapat dimakan dan meningkatkan tekanan panas akan memperburuk masalah produksi pangan. Erosi karang akan mengurangi perlindungan yang diberikan terumbu terhadap gelombang ketika cuaca buruk dan tsunami.
Masa depan yang tak pasti
Dilansir WorldAtlas, Tuvalu menghadapi kepunahan tanpa solusi mudah dan tidak ada jaminan bahwa segala upaya untuk menyelamatkan negara kepulauan ini akan berhasil atau tidak.
Beberapa peneliti yakin kenaikan permukaan air laut sebesar dua meter mungkin terjadi pada tahun 2100 yang akan melenyapkan tanah dan rumah di banyak negara kepulauan dan wilayah pesisir yang dekat dengan perairan besar. Tuvalu sepertinya akan menjadi negara pertama yang tenggelam, sebuah kejadian yang seharusnya menjadi peringatan bagi jutaan orang yang terpapar oleh naiknya air di dataran rendah.
Negara-negara AOSIS telah berulang kali menyatakan kekecewaannya pada pertemuan majelis PBB mengenai kurangnya kemajuan dalam mencapai tujuan perubahan iklim internasional, seperti pengurangan gas rumah kaca yang seharusnya membantu mengurangi masalah yang disebabkan oleh perubahan di lautan dunia.
Salah satu KTT Perubahan Iklim PBB yang diadakan baru-baru ini di Lima terus mengembangkan kebijakan yang mengurangi emisi, menggalang dana untuk Dana Iklim Hijau PBB, dan memberikan kompensasi kepada negara-negara yang paling sedikit mendapat manfaat dari bahan bakar fosil namun paling menderita akibat dampaknya.
Sementara itu, penduduk Tuvalu terus menjalani hidup mereka di bawah ancaman hanyut dari pulau-pulau yang mereka cintai karena kejadian iklim seperti kekeringan dan gelombang badai menjadi lebih parah.
Menariknya, di tengah ancaman negerinya akan hilang, Tuvalu sempat menyinggung isu HAM di Papua Barat. Pada 2018, Perdana Menteri Tuvalu, Enele Sopoaga, sempat terlibat dalam debat kampanye kemerdekaan Papua Barat. Sopoaga adalah salah satu pemimpin negara di Kepulauan Pasifik yang menyuarakan keprihatinan mereka di Sidang Majelis Umum PBB di tahun yang sama.
Salah satu isu Papua yang menjadi fokus Sopoaga adalah masyarakat adat. Menurut dia, PBB juga harus terlibat dengan orang-orang Papua Barat untuk menemukan solusi abadi untuk perjuangan mereka.